Kalau berbincang tentang jabatan, penulis jadi teringat kisah
Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Yusuf
as meminta jabatan sebagai bendaharawan, bukan karena basahnya jabatan ini
sehingga Beliau bisa menggunakan harta kerajaan semaunya. Beliau memandang
dirinya memang bisa mengelola keuangan dengan baik, dengan profesional.
Memang benar, Nabi Yusuf as
menjadi bendahara kerajaan yang mampu menyimpan keuangan dan dapat dipergunakan
pada waktu yang tepat, saat penduduk kerajaannya membutuhkan. Hal ini
disebabkan intuisinya yang tajam, di mana beliau bisa mengelola dan menyimpan
saat musim panen, dan menggunakannya saat musim paceklik.
Nabi Yusuf mampu menyimpan bahan
makanan karena beliau tahu akan datang musim pancaroba, musim di mana sulitnya
air, hujan tidak turun sehingga para petani tidak mampu bercocok tanam, sawah
ladang menjadi kering. Kemarau yang panjang.
Pertanyaannya, dari mana Nabi
Yusuf belajar mengelola keuangan? Apakah dari ayahnya? Kalau dilihat dari
kisahnya kemungkinannya kecil, Nabi Yusuf dibuang oleh saudaranya saat masih
belia sehingga beliau pisah dengan ayahnya. Dari orang tua asuhnya? Bisa iya
bisa tidak, karena Nabi Yusuf dewasanya mengikuti keluarga kerajaan. Atau saat
di penjara? Bisa iya dan juga bisa tidak. Wallahu a’lam.
Sekarang, kita menengok jaman
ini. Kalaulah kita sepakat bahwa pendidikan menjadi tolok ukur sebuah kemampuan
manusia, apakah para pemimpin kita sudah benar-benar profesional? Apakah ada
sekolah para calon pemimpin di negeri Indonesia? Coba kita tengok sekarang,
pendidikan para pejabat tinggi di lingkungan kita? Apakah jabatan mereka sudah
sesuai dengan pendidikannya? Tentu masih ada atau bahkan banyak yang tidak
sesuai. Itu jika kita ukur dari pendidikannya.
Sekarang sarjana hukum, menjabat
pucuk pimpinan sebuah instansi yan seharusnya harus kompeten dalam hal
manajemen, sarjana agama harus berjibaku dengan memberi pengajaran yang bukan
pada bidangnya. Itu jika kita ukur dari pendidikannya?
Lantas apakah mereka gagal?
Mereka berlarian karena tidak bisa mengembannya? Mereka menyerahkan jabatan
tersebut kepada yang layak menjabatnya? Penulis rasa tidak. Sekali lagi
T-I-D-A-K. Itu kalaulah pendidikan menjadi tolok ukurnya.
Jiwa kepemimpinan itu bisa
dipelajari, jiwa kepemimpinan pasti bisa kembangkan, walau memang tidak menutup
kemungkinan jiwa kepemimpinan itu adalah bakat. Pemimpin itu dilahirkan atau
pemimpin juga bisa disiapkan. Keduanya mempunyai peluang sama.
Penulis merasakan, pemimpin
sekarang tidak seberat saat jaman para nabi terdahulu. Di jaman nabi-nabi, pemimpinnya
harus bisa paham banyak hal, mulai dari urusan dapur, sumur, ataupun tempur. Walaupun
memang ada juga pembagian tugas. Pemimpin jaman sekarang sudah dimudahkan
dengan adanya para staff ahli, dengan hadirnya para konsultan, sehingga
langkah-langkah yang seorang pemimpin tempuh sudah dipikir, dikaji secara
matang.
Jabatan itu amanah, jika sebuah
pekerjaan diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya. Mari
menyiapkan sekolah-sekolah pemimpin, atau jadikan anak-anak kita calon pemimpin
tangguh.[]*yayan
*)
Penulis adalah pendidik SDIT Hidayatullah Yogyakarta
**)
SDIT Hidayatullah Yogyakarta menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran
2014-2015. Informasi lengkap 087 738 219 070 a.n Thorief