Kekuatan Amarah


Oleh : Tuswan Reksameja*
“Janganlah kamu marah, maka bagimu syurga.” Begitu sabda Nabi Muhammad. Sungguh kita diiming-imingi masuk syurga untuk sekedar menahan amarah, namun alangkah banyaknya manusia yang enggan meraih syurga dengan menahan marah. Padahal dipikir-pikir, dengan marah atau tidak marah dampaknya akan berbeda. Sebagai gambaran, mari kita simak pengalaman nyata berikut ini.


Saat itu emosi saya memuncak melihat perilaku anak pertama saya yang tidak mau disuruh mandi, persoalan sepele memang, m-a-n-d-i, iya hanya persoalan mandi di pagi hari. Lalu mulailah saya berceramah panjang lebar dengan muka menahan amarah. Saya tidak memperdulikan bagaimana perasaan hati anak saya waktu itu kena marah. Memang setelah itu biasanya anak saya menangis sesenggukkan. Lalu tinggallah saya dalam penyesalan, kenapa tadi bisa lepas kontrol. Nah, dampaknya akan berurutan, anak saya disuruh memakai baju seragam tidak mau, disuruh sarapan tidak mau. Semuanya tidak mau, bahkan hampir semua saya kerjakan sendiri, tentunya dengan raut muka marah. Setelah sampai di sekolahpun, anak saya tidak mau dilepas dengan teman-temannya, akhirnya dia tidak masuk kelas dan ikut dengan saya sendiri kerja.

Nah, itulah sebagian kecil kekuatan amarah. Amarah akan membuat hati anak-anak menjadi sakit, sehingga ketika hati anak-anak sakit pasti dia akan marah juga. Seandainya anak-anak berani melawan kita sebagai ortunya, tentulah mereka akan memukul diri kita. Ternyata mereka beraninya dengan tidak mau mengerjakan apa yang menjadi tugasnya.

Kekuatan amarah inilah yang telah membekukan hati anak-anak. Mereka enggan berbuat kebaikkan walaupun pasti mereka sangat paham itu adalah kebaikkan. Mereka enggan melakukan perintah orang tuanya, karena hati merekapun otomatis juga diselimuti amarah hanya saja mereka tidak berani mengungkapkannya. Sehingga akhirnya saya sendirilah yang kerepotannya berlipat-lipat. Bagaimana tidak berlipat-lipat, kadang anak saya biasa mandi sendiri harus dimandikan, pakai baju sendiri harus dipakaikan, sarapan sendiri harus disuapi, bisa dilepas ke kelasnya eh malah jadi ikut masuk ke kantor.

Obat yang efektif dari hal tersebut adalah ‘meminta maaf’, biasanya setelah lepas kontrol, saya akan bilang, “Mbak maaf ya, tadi Abi marah karena mbak begini, begitu,” biasanya anak saya akan berubah. Bahkan akhirnya pun dia mengulurkan tangan untuk meminta maaf juga kepada saya.

Ya, itulah sebagian kecil kekuatan amarah.
Kadang untuk menyabarkan hati saya sendiri, saya berpikir, “Toh saya marah juga tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa menambah musibah. Sehingga menjadi tenanglah jiwa saya”.[]*yayan

*Penulis adalah Guru kelas menulis SDIT Hidayatullah Yogyakarta
**SDIT Hidayatullah menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Informasi lengkap 087 738 219 070 a.n Thorief

Previous Post
Next Post