Oleh : Tuswan Reksameja*
Suasana kelas begitu riuh saat pelajaran
belum dimulai. Ada yang berlarian ke sana ke mari, sambil membawa penggaris,
kadang memukul-mukulkan ke meja temannya. Ada yang asik sekali ngobrol dengan
temen semejanya, sambil ketawa kecil mungkin karena cerita lucu mereka. Ada
yang diam saja tanpa ekspresi, karena memang tipe anak pendiam. Ya, suasana
kelas begitu ramai karena tingkah polah anak-anak yang masih gemar bermain.
Seorang guru sengaja datang diam-diam
agar tidak ada anak-anak yang tahu. Dia berdiri di belakang kelas beberapa
detik memperhatikan mereka, sehingga terdengar celetukkan anak, “Eh, Pak Guru
datang.” Beberapa saat kemudian volume kegaduhan kelas menurun, menurun, dan
kemudian hilang. Masih terlihat beberapa anak yang duduknya tidak tenang.
Begitu kelas sudah siap, guru baru memberi pengajaran anak-anak.
***
Kali ini, mengkondisikan kelas tidak
semudah biasanya, mungkin karena kondisi guru yang sedang banyak masalah di
keluarganya atau lainnya sehingga tidak mood untuk mengajar. Anak-anak yang
semakin ramai, membuat suasana hati guru semakin panas. Tanpa pikir panjang
guru menenangkan mereka dengan nada ‘kemarahan’ kepada anak-anak. Efektif
sekali. Anak-anak langsung diam senyap bagaikan kelas tidak berpenghuni. Mereka
takut dengan gurunya. Baru kemudian guru memberikan materi pelajaran kepada
mereka, tentunya dalam suasana yang tegang. Sangat tidak nyaman di mata
anak-anak.
***
“Kali ini, Pak Guru akan membawakan
sebuah kisah. Kisah yang datang dari sebuah Hadits yang disampaikan Rasulullah,
bla bla bla....” Kata seorang guru dengan nada tidak terlalu tinggi, bahkan
cenderung pelan. Anak-anak terlihat antusias mendengarkan kisahnya. Sehingga
tanpa sadar kelas yang semula riuh rendah berubah menjadi hening. Walau ada
beberapa anak yang memang harus disentuh untuk bisa tenang. Saat kisah selesai
diceritakan dan kelas terlihat siap untuk menerima pelajaran, baru pelajaran
dimulai.
Cerita di atas tidaklah nyata, tapi
penulis yakin akan ada dalam suasana proses belajar mengajar dalam sebuah
kelas. Baik itu kelas TK atau kelas SD. Kelas dengan warganya yang siap untuk
mengikuti pelajaran memang harus dikondisikan terlebih dahulu. Kelas yang belum
siap tetapi Sang Guru memaksa untuk memberikan pengajaran akan sia-sia. Mungkin
hanya beberapa anak yang gemar belajar saja yang memperhatikan, untuk anak-anak
yang suka bercerita, bergerak ke sana ke mari cenderung mengabaikan, karena
mereka belum siap menerima pelajaran.
Anak usia TK dan SD adalah masa bermain,
maka sangat tidak enak jika mereka belajar dalam suasana yang mencekam, seperti
kisah tersebut di atas, karena guru marah. Memang kelas tenang, tetapi perlu
ditanyakan kepada anak-anak, apakah mereka senang dalam belajar atau
sebaliknya.
Metode cerita mungkin bisa menjadi salah
satu alternatif untuk membuat kelas siap menerima pelajaran. Yang perlu
diperhatikan adalah waktu. Cukup 5 atau 7 menit membawakan sebuah cerita.
Jangan lebih. 5 atau 7 menit untuk mengkondisikan anak siap belajar, lebih baik
dari pada saat langsung memulai pelajaran tetapi anak-anak belum siap menerima
pelajaran.
Cerita yang dibawakan dengan intonasi
yang sempurna, dengan mimik yang tepat akan membantu anak-anak belajar tentang
kebahasaan. Apalagi jika Sang Guru membawakan dengan bermacam gaya yang bisa
diperagakan, tentu akan membuat lebih menarik lagi bagi anak-anak. Nah, gali
lebih dalam potensi untuk mengajar melalui metode bercerita, temukan saat yang
tepat untuk memberikan pelajaran pada anak-anak. Apa metode Anda lebih unik
untuk diceritakan? Mari berbagi pengalaman kepada yang lain.
*)
Penulis adalah Redaktur Majalah Fahma, Majalah Pendidikan Orang Tua dan Guru,
Cerdas di Rumah Cerdas di Sekolah, Fans Page Majalah Fahma, twitter
@majalahfahma.
**) SDIT Hidayatullah menerima
pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Informasi lengkap 087 738 219
070 a.n Thorief