Sebuah Cita-cita
Oleh : Mahmud Thorif*
“Nak, cita-citamu mau jadi
apaan sih?” Tanya seorang Ayah saat santai bersama
anak-anaknya.“Saya mau jadi tentara, Yah. Biar kelihatan gagah.” Jawab
anak laki-lakinya. “Wow, Mas Askar mau jadi tentara ya. Hebat itu.” Kata
Sang Ayah dengan raut muka senang. “Kalau saya mau jadi guru saja ah, biar
bisa ngajarin murid-murid.” Celoteh anak perempuannya. “Subhanallah,
Mbak Syahidah mau jadi guru? Cita-cita sangat mulia itu.” Sambut Sang Ayah
dengan wajah berbinar.***
Dialog di atas tidak nyata,
hanya sebuah ilustrasi. Menarik memang mendiskusikan cita-cita bersama
anak-anak. Walau terkadang suatu saat kita bertanya kembali jawaban mereka
berbeda. Tidaklah mengapa. Itu menandakan jalan pikiran mereka berkembang,
pengetahuan mereka bertambah luas, wawasan mereka semakin jauh. Suatu saat
nanti pasti mereka akan menentukan sebuah cita-cita yang akan mereka pegang
hingga tergenggam di tangan mereka. Iya, itu semua harus diawali dari diskusi
ringan, saat mereka santai tidak ada beban.
Yang tidak kalah penting
adalah menggali apa alasan mereka bercita-cita demikian. Biasanya alasan
anak-anak berdasarkan pengalaman mereka, baik pengalaman di kehidupan nyata,
pengalaman membaca dari buku-buku kesukaannya, pengalaman mereka mendengar
cerita dari orang tua atau gurunya. Kebanyakkan anak-anak bercita-cita karena
profesi orang tuanya saat ini, misal profesi sekarang dokter, anak-anak
bercita-cita menjadi dokter. Profesi sekarang guru, anak-anaknya pun
bercita-cita menjadi guru, dan banyak lagi.
Berarti memberikan pengalaman
belajar tentang profesi kepada anak-anak perlu ditekankan. Sesekali ajak mereka
ke sawah ladang memperhatikan petani bercocok tanam, sesekali boleh juga
mengajak mereka ke rumah sakit, memperhatikan dokter atau perawat yang merawat
pasiennya, dan tentu masih banyak profesi-prosesi yang bisa menjadi referensi
anak-anak kita. Bisa juga dibacakan buku-buku bergizi tentang kisah orang-orang
sukses dan kisah-kisah inspiratif lainnya.
Iya, itulah upaya orang tua
atau guru untuk merancang cita-cita anak-anaknya. Memang membutuhkan waktu yang
lama dan tentu kesabaran orang tua atau guru. Tapi yakinlah, itu salah satu
dari upaya kita mengenalkan dan mengembangkan cita-cita mereka.
“Hidup dimulai dari mimpi,” begitu kata para motivator. Maka ajaklah anak-anak kita untuk bermimpi
setinggi-tingginya. Selami mimpi anak-anak itu dengan diskusi-diskusi ringan,
pertanyaan-pertanyaan kritis. Pancing anak-anak agar mau mengeluarkan apa
alasan mereka bercita-cita pilihan mereka. Jika ada hal yang melencen,
luruskan, beri mereka saran.
Suatu saat nanti, anak-anak akan
menemukan sebuah cita-cita pilihan mereka. Dampingilah anak-anak menentukan
cita-cita mereka, jangan sampai mereka terperosok di dunia dan merugi di
akhirat karena cita-cita mereka yang tanpa arahan dari orang tua dan gurunya.
Selamat bekerja keras membangun cita-cita.[] *yayan
*Penulis adalah Pengampu kelas menulis di SDIT
Hidayatullah Yogyakarta
**SDIT Hidayatullah menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Informasi pendaftaran
087738219070
Post a Comment