Anak Shalih Adalah Aset Orang Tua
Oleh: Zainal arifin*
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat
disayangi dan dicintainya. Sewaktu bahtera rumah
tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang terlintas dalam benak
suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan mereka miliki serta kearah mana
anak tersebut akan dibawa.
Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang
terbaik. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَزَوَّجُوا
الْوَلُوْدَ وَالْوَدُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ.
Artinya: “Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang dan
karena sesungguhnya aku bangga pada kalian dihari kiamat karena jumlah kalian
yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’I, kata Al Haitsamin).
Namun yang menjadi masalah adalah kemana anak akan kita
arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya orang tua menginginkan agar kelak
anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih, agar setelah dewasa mereka dapat
membalas jasa kedua orang tuanya.
Namun obsesi orang tua kadang tidak sejalan
dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha
adalah hayalan semu yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian orang tua akibat pandangan yang keliru
menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi bintang film (Artis),
bintang iklan, fotomodel dan lain-lain. Mereka beranggapan dengan itu semua
kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti kaum selebritis yang terkenal
itu.
Padahal dibalik itu semua mereka kering akan informasi tentang perihal
kehidupan kaum selebritis yang mereka puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang
tua yang sering mengkonsumsi berbagai macam acara-acara hiburan diberbagai
media cetak dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka
lihat selama ini.
Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya hidup yang serba glamour adalah konsumsi sehari-hari mereka.
Sangat jarang kita
saksikan di antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka
diciptakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala,kalaupun ada mereka hanya
menjadikan ritualisme sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh
masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan
anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia
di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: artinya: “Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)mereka” (An Nisa:
9).
Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah
fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua
yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka mereka harus memperhatikan
keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan
yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari pengertian lemah pada
ayat ini memfokuskan pada masalah ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua
hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin .
(Tafsir Ibnu Katsir: I, hal 432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang
rela meninggalkan aqidahnya (murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka
yang dibawah garis kemiskinan.
Banyak orang tua yang mementingkan perkembangan anak dari
segi intelektual, fisik dan ekonomi semata dan mengabaikan perkembangan iman.
Orang tua terkadang berani melakukan hal apapun yang penting kebutuhan
pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi, sementara untuk memasukkan anak-anak
mereka pada TK-TP Al-Qur’an terasa begitu enggan. Padahal aspek iman merupakan
kebutuhan pokok yang bersifat mendasar bagi anak.
Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan
bagi anak-anak mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang
dilakukannya kearah tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai
contoh: Ada orang tua yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual
telah melaksanakan usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan prasarana
kearah tercapainya tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh namun
dalam usahanya memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat
setengah hati, padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara
bersungguh-sungguh dalam segi pemenuhan otaknya.
Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu
memperhatikan langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya
dalam melahirkan anak yang shalih.
Di bawah ini akan kami ketengahkan beberapa
langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:
1. Opini atau persepsi orang tua atau anak yang shalih
tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
إِذَا مَاتَ
بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.
Artinya: “Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah
amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau
anak yang shalih yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)
Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang
shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita
telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak
sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan
kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala ,
dan menjauhi larangan-laranganNya.
Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan
DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak
tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan senang
bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa
Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula
bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak
yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua
orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan
kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan
amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa
Ta'ala .
Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu
anak yang taat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi
larangan-laranganNya, selalu mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan
kebaikan-kebaikan.
2. Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah tercipta-nya
anak yang shalih. Lingkungan merupakan
tempat di mana manusia melaksana-kan aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro
lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Lingkungan keluarga. Keluarga merupakan
sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga
juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan
pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian dan karakternya.
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna
keIslaman, maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut.
Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai
keIslaman, maka jelas kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian
orang tuanyalah yang mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ
يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري).
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah
(Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Al-Bukhari).
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal
dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa
anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa
Ta'ala dan RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut
berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang
dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi
anak yang shalih, maka keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat
menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi
dengan anak pasti memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai
dengan kepribadian yang shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan
mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya
b. Lingkungan Sekolah. Sekolah merupakan
lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya
dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah
kegiatan rutin mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup
efektif dalam membentuk watak dan karakter anak.
Di sekolah anak-anak akan
saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam
keluarga mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu
akan memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang
di rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh
yang negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga cukup menentukan dalam membentuk watak dan
karakter anak di sekolah adalah konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam
mendidik dan mengarahkan setiap anak didik.
Sekolah yang ditata dengan manajemen yang
baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan
sekolah yang tidak memperhatikan sistem manajemen.
Sekolah yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti tidak akan
mampu menghasilkan murid-murid yang berkwalitas secara maksimal, kualitas dalam
pengertian intelektual dan moral keagamaan.
Kualitas intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar
serta kurikulum yang dipakai di sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan
dalam melahirkan murid yang berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara
cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak
harus memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal
intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena
sekolah tersebut akan memberi warna baru bagi setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan
lebih mampu menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu
sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama
akan lebih mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan Masyarakat. Masyarakat adalah
komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya.
Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah watak dan karakter anak
jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan
akan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam
masyarakat seperti ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan,
kedamaian, dan ketentraman.
Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya untuk
selalu taat dan patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya,
dapat saja tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela disekitarnya.
Oleh
karena itu untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah terdidik secara baik
dalam institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan
lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi anak.
Masyarakat terbentuk atas dasar gabungan individu-individu
yang hidup pada suatu komunitas tertentu. Karena dalam membentuk masyarakat
yang harmonis setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama.
Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi masyarakat.
Mereka beranggapan
bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah pemerintah, para da’i,
pendidik atau ulama. Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ,
bersabda:
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ. (رواه مسلم).
Artinya: “Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan
lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap orang merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam
hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan
merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa
putra dan putri kita.
Padahal kedudukan kita sebagai umat yang terbaik yang
dapat memberikan ketentraman bagi masyarakat kita hanya dapat tercapai jika
setiap individu muslim secara konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar,
karena Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman
kepada Allah...” (Ali Imran: 110).
Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu masing-masing
yang harus dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa Ta'ala , pasti
akan menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong
orang-orang yang rugi.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu marilah kita bersama-sama merasa peduli terhadap
kelangsungan hidup generasi kita, semoga dengan kepedulian kita itulah Allah
Subhannahu wa Ta'ala akan senantiasa menurunkan pertolonganNya kepada kita dan
memenangkan Islam di atas agama-agama lainnya.[] *yayan
*Penulis
adalah wali kelas VA SDIT Hidayatullah
Yogyakarta
** SDIT
Hidayatullah menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Info pendaftaran
087738219070
Post a Comment