Mengajak Anak Merasakan Kekuatan Doa



Oleh : Imam Nawawi*
Satu hal yang setiap guru pasti bisa lakukan adalah mentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didiknya. Jelas itu satu kewajiban dasar seorang guru. Tetapi, satu hal yang sangat langka dimiliki oleh guru bahkan orang tua saat ini adalah mengajak anaknya atau peserta didik bisa mengalami secara nyata kekuatan doa.


Doa masih dianggap sebagai bagian formal dari ritual ibadah, seperti ketika usai dzikir setelah sholat. Menjelang dan setelah melakukan sesuatu; makan atau tidur, masuk kamar mandi, dan lain sebagainya. Padahal, secara Ilahiyah, doa tidak saja semata-mata formal-ritual. Doa adalah senjata utama, pakaian para Nabi dan Rasul. Dan, di dalam doa ada kekuatan luar biasa. 

Doa mampu mengubah kemustahilan menjadi nyata. Seperti Allah gambarkan pada awal-awal surat Maryam, bagaimana Nabi Zakariya tidak pernah putus dengan doa, meski rambut memutih dan tulang merapuh. 

Secara nalar, untuk apa terus berdoa, usia sudah lanjut, istri mandul. Tetapi Nabi Zakariya tidak pernah berputus asa. Dia tidak melihat betapa tidak memungkinkannya keadaan untuk bisa punya anak. Tetapi dia melihat betapa sangat kuasanya Allah SWT.

Demikian pula dengan keyakinan yang sangat kokoh pada diri Nabi Ibrahim. Totalitasnya dalam ikhtiar dan ibadah, bahkan doa tidak kemudian menjadikan segala yang diinginkannya terwujud cepat. Justru terasa semakin sulit dan mungkin dalam bahasa umum diundur-undur.

Tetapi, pada akhirnya, sebagaimana janji Allah sendiri bahwa Dia pasti mengabulkan doa hamba-hamba-Nya, Nabi Ibrahim mendapatkan apa yang diharapkan dan diinginkan, bukan untuk dirinya, tetapi untuk Islam.

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar” (QS. 14: 39).

Untuk itu, penting bagi orang tua dan guru untuk mengajak anak-anak atau peserta didiknya merasakan langsung kekuatan doa. Ini penting dan harus terus disosialisasikan kepada anak.

Misalnya ketika anak menginginkan untuk dibelikan sesuatu. Orang tua eloknya mengatakan kepada sang anak, “Boleh kamu ingin ini dan itu, tapi tolong kamu doa kepada Allah supaya diberi kemudahan untuk mendapatkannya.”

Suatu ketika pernah seorang murid SD kelas 4 di sebuah desa di Jawa Timur ingin menjadi juara kelas. Keinginan itu sangat sulit secara logika. Karena orang tuanya bekerja jauh di luar pulau. Ia hanya mengandalkan pendidikan sekolah di kelas. Selebihnya tidak ada.

Sementara itu, pengalaman tiga tahun menunjukkan bahwa yang juara kelas selalu anak seorang guru dan anak pegawai. Itu terus bergantian menyabet gelar juara kelas.

Dalam suatu kesempatan, murid SD ini mendengar taushiyah seorang ustadz di musholla. Isinya adalah berdoalah kepada Allah dengan penuh kesungguhan agar tercapai segala keinginan dan cita-cita.

Murid SD itu pun melakukannya. Setiap usai sholat, mau tidur, bangun tidur, selalu ia berdoa agar diberi kemampuan menjadi yang terbaik dikelasnya.

Waktu berjalan. Murid SD itu pun tidak berharap apa-apa. Tetapi, sungguh mengejutkan, ia dipanggil sebagai murid terbaik di kelasnya. Atas prestasi itu, ia berhak atas beasiswa selama tiga tahun ke depannya.

Anak dari orang tua yang tidak berpendidikan itu berhasil menyabet gelar juara, bukan semata-mata kerja kerasnya dalam belajar dan konsentrasinya di dalam kelas. Tetapi keyakinan dan kesungguhannya dalam berdoa. []*yayan

*Penulis adalah Penulis buku dan aktivis hidayatullah Depok
**SDIT Hidayatullah menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Informasi lengkap 087 738 219 070 a.n Thorief
Powered by Blogger.
close