Oleh: Hendra Nugroho,S.Pd.I.*
Sebagai profesi yang mulia, setidaknya ada tiga alasan mendasar yang bisa dikemukakan tentang guru. Pertama, yaitu proses transfer ilmu atau pengetahuan yang kita sebut sebagai kewajiban mengajar dengan tujuan mencerdaskan manusia. Kedua adalah mendidik, yaitu memberikan pengajaran tentang sikap jiwa dan budi luhur kepada anak didik supaya kelak menjadi manusia seutuhnya yang bermanfaat bagi setiap makhluk. Ketiga adalah keteladanan guru yang harus bisa menjadi contoh yang baik dan benar, baik lahir maupun batin, bagi anak didik.
Lalu, bagaimana guru bisa memunculkan keteladanan bagi peserta didik?
Jawabannya adalah keteladanan itu muncul dari hati yang penuh dengan ketulusan untuk membersamai peserta didik dalam belajar. Jika ketulusan hati dan keikhlasan itu hadir, maka akan tercipta bonding antara guru dan peserta didik.
Kok bisa bonding itu tercipta?
Karena guru mau membuka ruang yang luas untuk peserta didiknya, yaitu di antaranya terbukanya ruang cinta dan cerita.
***
Suatu kisah
Ada seorang guru bernama Abdullah. Ia mengajar di sekolah dasar Islam terpadu sudah belasan tahun lamanya. Pada suatu ketika, ia diamanahi oleh kepala sekolahnya untuk mengajar di kelas dua pada tahun kesembilan belas. Dari dua puluh lima murid yang ada di kelasnya, ada satu murid bernama Dimas. Dimas adalah murid laki-laki yang sama sekali tidak mau mengeluarkan suara satu huruf pun. Apakah Dimas memiliki gangguan pendengaran?
Ternyata pendengarannya normal-normal saja.
Hal ini menjadi aneh bagi Pak Abdullah sejak pertemuan awal kelas dua, saat sesi perkenalan antara murid dan wali kelasnya.
“Dimas Adi Brata, silakan maju memperkenalkan diri. Sebutkan nama, alamat rumah, dan cita-cita!” perintah Pak Abdullah.
Dimas pun maju ke depan, berdiri di depan papan tulis sebagaimana teman-teman sebelumnya yang memperkenalkan diri masing-masing. Namun setelah Dimas berdiri di depan kelas, ia mematung begitu saja tanpa ada suara yang keluar dari lisannya.
“Ayo, Dimas, silakan memperkenalkan diri kepada teman-teman!”
Pak Abdullah menunggu Dimas berbicara, namun suara itu tak kunjung keluar. Kemudian salah satu teman kelasnya berkata, “Ustaz, Dimas memang tidak mau berbicara sejak kelas satu semester dua.”
“Oh begitu, kenapa ya, Nak?”
“Tidak tahu, Ustaz.”
“Baiklah kalau begitu, silakan Dimas duduk kembali ke kursinya,” perintah Pak Abdullah.
Dimas pun duduk kembali ke kursinya dengan wajah serius, tanpa senyum dan tanpa kesedihan.
Bel pulang berbunyi di hari pertama masuk sekolah. Pak Abdullah sengaja menemui orang tua Dimas saat penjemputan sekolah. Tidak banyak yang disampaikan oleh Pak Abdullah kepada ibu Dimas, hanya beberapa kalimat saja mengingat waktu dan kondisi yang ramai.
“Bun, nomor WA-nya betul yang ini?” tanya Pak Abdullah sambil menunjukkan kontak di HP-nya.
“Betul, Ustaz.”
“Nanti sore atau malam sebelum istirahat, saya boleh minta waktunya untuk berbicara dengan Bunda via telepon, bisa?”
“Iya, Ustaz, insyaallah bisa. Nanti kabari saja, ya, Ustaz.”
Saat malam tiba, selepas Isya, Pak Abdullah menelepon ibu Dimas. Maksud dari komunikasi via telepon tersebut adalah untuk menggali informasi tentang Dimas, muridnya di kelas dua yang tidak mau berbicara sama sekali.
“Oh iya, Ustaz, di rumah Mas Dimas normal-normal saja. Ia berbicara dengan saya, ayahnya, dan adiknya,” jawab ibu Dimas.
“Oh begitu... oh iya, ini sampai terdengar suaranya sedang main sama adiknya, ya, Bun?”
“Iya, Ustaz, itu sedang main. Jadi memang, dari kelas satu kemarin, guru di kelas satu waktu itu menyampaikan ke saya, katanya Mas Dimas sekarang jadi diam, tidak mau mengeluarkan suara untuk bicara. Ujian praktik lisan pun tidak bisa kalau di sekolah, ia maunya via rekaman HP yang dikirim saat tiba di rumah.”
“Oh begitu, Bun. Sudah Bunda coba menanyakan kepada Mas Dimas, apa penyebabnya?”
“Sudah, Ustaz, namun dia masih belum mau menjawab. Saya pikir, ya sudahlah, mungkin suatu saat dia mau berbicara.”
“Terus, saat kelas satu, sama teman-temannya tidak ada masalah, kan, Bun?”
“Tidak ada, Ustaz. Ustazah Mahmudah pun waktu itu menyampaikan kalau mereka di kelas akur- akur saja. Dimas pun berbaur seperti biasa dengan semua teman-temannya. Hanya saja tidak mau mengeluarkan suara.”
“Oh, baik, Bun. Terima kasih banyak informasinya. Ini barangkali menjadi PR buat saya sebagai wali kelas Mas Dimas di kelas dua. Kita sama-sama memotivasi Mas Dimas agar mau berbicara kembali, ya, Bun.”
“Iya, Ustaz, saya juga akan terus menggali penyebab sebenarnya apa.”
***
Setelah mengetahui informasi dari orang tuanya tentang kondisi Dimas, Pak Abdullah pun setiap hari terus memberikan motivasi khusus kepada Dimas. Dimas tidak memiliki gangguan pendengaran, tidak sedang bersitegang dengan temannya, dan tidak pernah mogok sekolah. Suara itu hanya tidak dikeluarkan ketika di sekolah saja. Di rumah, ia ceria, bahagia, dan berbicara dengan keluarganya. Jadi, bagi orang tuanya pun hal itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah atau mengkhawatirkan. Persoalannya hanya muncul ketika di sekolah.
“Mas Dimas, sebenarnya Ustaz ingin tahu alasan Mas Dimas kenapa tidak mau berbicara sama sekali ketika sudah masuk sekolah. Tetapi barangkali Mas Dimas belum mau cerita sekarang, tidak apa-apa. Lain waktu kalau Mas Dimas sudah mau cerita sama Ustaz, Ustaz sangat terbuka dan mau mendengarkan Mas Dimas bercerita.”
Dimas hanya menjawab dengan anggukan.
Kegiatan belajar berjalan seperti biasa. Pak Abdullah tetap menganggap semua murid sama di hatinya, ia menaruh kasih sayang yang sama tanpa membeda-bedakan. Ia pun memfasilitasi belajar Dimas yang tidak mau mengeluarkan suara. Hampir setiap hari Pak Abdullah selalu memiliki waktu khusus untuk memberikan motivasi kepada Dimas, meskipun muridnya itu tidak mau menjawab dengan kata-kata. Pak Abdullah tak pernah lelah dan tak mau berhenti membuka ruang cintanya, semua demi muridnya yang satu ini. Namun, jawaban selalu sama—Dimas tidak mau berbicara sama sekali. Hal ini berlanjut sampai Dimas menyelesaikan kelas tiga. Bahkan orang tuanya pun sudah menganggap hal itu biasa, meskipun masih ada rasa penasaran di hati mereka.
Keajaiban datang bagi Pak Abdullah. Dua tahun setelah menjadi wali kelas Dimas di kelas dua, ia diamanahi oleh kepala sekolahnya untuk menjadi wali kelas satu. Sedangkan Dimas sudah duduk di kelas empat dengan wali kelas yang berbeda.
Tiba-tiba Dimas menemui Pak Abdullah di ruang kelas satu, saat Pak Abdullah selesai memulangkan muridnya. Ruang kelas itu telah kosong, menyisakan Pak Abdullah seorang diri.
“Eh, Mas Dimas... apa kabar? Silakan duduk! Ada apa, ada yang bisa Ustaz bantu?”
“Anu, Ustaz, saya mau berbicara sama Ustaz.”
Sontak Pak Abdullah terkejut luar biasa saat mendengar suara muridnya yang sekian tahun tidak terdengar. Ia bersyukur dalam hatinya, matanya mulai berkaca-kaca. Pak Abdullah duduk berhadapan dengan Dimas, tanda ia serius mendengarkan muridnya yang kini sudah kelas empat.
“Iya, Mas Dimas, silakan. Ustaz dengan senang hati akan mendengarkan Mas Dimas menyampaikan sesuatu yang sangat penting rupanya.”
“Saya mau mengucapkan terima kasih banyak sama Ustaz, sudah mau peduli dengan saya, mau memberikan motivasi kepada saya setiap hari agar selalu menjadi orang yang optimis. Sekarang saya sudah merasakan motivasi tentang optimis itu telah ada pada diri saya dari Ustaz.”
“Alhamdulillah...”
“Dulu, kenapa saya tidak mau membuka suara saat di sekolah, Ustaz, waktu kelas satu ada teman yang mengatakan kalau suara saya seperti suara perempuan. Sejak kalimat itu saya dengar, sejak itu pula saya pesimis, Ustaz. Sejak saat itu saya memutuskan untuk tidak mengeluarkan suara atau menahan diri untuk berbicara di lingkungan sekolah ini. Tapi kali ini saya mendobrak itu semua berkat nasihat dan motivasi dari Ustaz yang membangkitkan semangat saya. Saya tidak punya dendam kepada siapa pun, termasuk kepada teman saya yang mengomentari suara saya. Saya baik-baik saja dengan siapa pun. Hanya saja waktu itu, secara spontan, rasa optimis saya hilang hingga memutuskan untuk tidak berbicara.”
“Masyaallah, Mas Dimas, Ustaz senang sekali mendengar ini dari Mas Dimas. Mendengar kalimat positif yang keluar dari Mas Dimas. Dan juga Ustaz senang sekali sudah bisa mendengar suara merdu Mas Dimas yang kini sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa.”
“Sekali lagi terima kasih, Ustaz, atas kesediaannya memberikan motivasi kepada saya setiap hari.”
“Sama-sama, Mas Dimas. Ustaz selalu mendoakan yang terbaik untuk Mas Dimas.”
Keduanya berpelukan, menangis bahagia. Kini Dimas tumbuh menjadi anak yang optimis, terlihat dari matanya. Dan suara itu kembali terdengar seperti sedia kala.
***
Dari sedikit kisah di atas, ternyata guru sangat memberikan dampak yang luar biasa bagi muridnya, selama guru itu mau membuka ruang cintanya dan ruang ceritanya untuk murid. Karena guru adalah ruang cinta dan cerita.
Selamat Hari Guru Nasional.
Semoga kita menjadi guru yang hebat untuk Indonesia yang kuat.
“Guru Hebat, Indonesia Kuat.”
*) Hendra Nugroho,S.Pd.I., Guru SD IT Hidayatullah Yogyakarta.




















