بسم الله الرحمن الرحيم
Disebutkan bahwa, pendidikan merupakan kunci utama kemajuan bangsa dan negara. Lalu kemudian muncul pertanyaan, “Dari mana kita mulai mendidik?. Ada sebuah istilah yang mengatakan “Non Scholae Sed Vitae Discimus” yaitu manusia belajar bukan mengejar nilai tetapi mempersiapkan hidup yang lebih baik.
Sementara itu data lain mengatakan bahwa, sistem pendidikan Indonesia berada di peringkat 54 dari total 76 negara. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand (djkn.kemenkeu.go.id).
Kemudian fokus yang sama, terlebih kita sebagai seorang muslim memiliki pandangan bahwa tarbiyah atau pendidikan mengarah pada tujuan mencetak generasi rabbani, yaitu generasi yang mengenali Tuhannya yaitu Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Oleh karena itu, pengelolaan sistem dan operasional sekolah tidak luput pada tujuan-tujan ketuhanan atau mengandung nilai-nilai ketauhidan kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Jika kita meninjau pada sisi kasus kekinian sebagai salah satu bentuk bagian dari evaluasi pendidikan kita, maka kita akan menemukan temuan-temuan yang tidak selaras dengan tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu salah satunya adalah merosotnya atau terjadinya kemunduruan akhlak dan adab peserta didik disebabkan banyak aspek yang mempengaruhinya. Maka tugas utama guru saat ini lebih banyak pada mendidik dari pada mengajarkan sesuatu yang bersifat pengetahuan.
“Lantas knowledge (pengetahuan) bagaimana?”
Mengajarkan suatu pengetahuan atau pelajaran tertentu penting, tetapi memperbaiki dan membangun akhlak peserta didik saat ini jauh lebih penting. Dengan perkembangan zaman yang serba instan saat ini, murid justru bisa dengan mudah mengakses ilmu pengetahuan kapan dan di mana saja. Artinya belajar mencari tahu sesuatu yang belum tahu itu tentu sangat mudah, tetapi memperbaiki akhlak dan adab perlu kerja keras dan tauladan dari semua guru.
Sosok guru yang menjadi role model di lingkungan sekolah dan masyarakat, harapannya adalah bisa menjadi sosok tauladan yang baik agar bisa memberikan pengaruh pada peningkatan akhlak dan adab murid. Maka disebutkan bahwa guru adalah digugu lan ditiru, artinya guru itu dipercaya dan dicontoh segala ucapan dan perbuatannya. Tidak mudah memang jadi guru, tantangan dan pertanggungjawabannya berat. Baik di dunia maupun di akhirat.
Bukankah kita pernah mendengar kisah Imam Syafi’i rohimahullahu ta’ala dalam mengajari muridnya bernama Ar-Rabi’ bin Sulaiman yang dikisahkan beliau termasuk murid yang “slow learner” diantara kawan-kawannya?.
Setidaknya kita bisa mengambil dua topik utama dari kisah Imam Syafi’i bersama muridnya Ar-Rabi’ bin Sulaiman;
1. Imam Syafi’i mengajarkan muridnya dengan keiikhlasan dan kesabaran.
Dalam kisahnya dikatakan, Imam Syafi’i penuh kesabaran mengajari Ar-Rabi’ bin Sulaiman karena tidak dalam sekali Imam Syafi’i menjelaskan, lalu Ar-Rabi’ langsung paham. Bahkan sampai Ar-Rabi’ diajak ke rumah beliau untuk diajarkan secara privat dan itu pun sama, Ar-Rabi’ masih belum juga paham. Bagaiamana pun kondisi muridnya, namun Imam Syafi’i tidak memvonis muridnya dan tidak pula menunjukkan kekesalah terhadap Ar Rabi’ yang “slow learner” tersebut.
Kita sangat jauh levelnya dengan Imam Syafi’i, maka kita bisa mencontoh beliau bagaimana mengajarkan murid dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Terlebih apa yang kita ajarkan, apa yang sedang kita perbaiki adalah masalah akhlak dan adab murid, maka jauh lebih membutuhkan keikhlasan dan kesebaran.
2. Imam Syafi’i memerintahkan Ar-Rabi’ untuk berdo’a kepada Allah sebagai bentuk ubudiyah.
Di akhir kisahnya, Imam Syafi’i memerintahkan Ar-Rabi’untuk berdo’a kepada Allah, agar Allah mencurahkan ilmu kepadanya, karena Allah yang memiliki ilmu dan Allah lah yang berkuasa untuk memberikan pemahaman ilmu kepada hambaNya. Dan terbukti Ar Rabi’ menjadi ulama besar setelah beliau menjalankan nasihat gurunya Imam Syafi’i.
Penulis meyakini, jika Imam Syafi’i tidak hanya memerintahkan Ar-Rabi’ untuk berdo’a, namun beliau pun pasti mendo’akan murid-muridnya. Ketika kita merasa berat medidik murid, merasa lelah dan capek, maka perlu kiranya kita memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Karena sejatinya, Allah lah yang membolak-balikan hati seorang hamba, Allah lah yang berkuasa atas hidayah seorang hamba. Maka memperbaiki kualitas ibadah kita termasuk di dalamnya seorang guru terus menerus mendo’akan muridnya, agar mereka menjadi generasi rabbani yang memiliki akhlak dan adab yang baik adalah menjadi prioritas utama.
Suatu kisah, seorang guru selalu menjalankan aktifitas wudhu dan sholat sunnah dhuha sebelum masuk kelas. Ketika ditanyakan kepadanya, “Kenapa Anda melakukan itu tiap hari?”. Maka jawaban beliau adalah, “hari ini jadwal ngajar penuh, artinya bertemu dan berinterasi dengan murid akan sering, maka saya minta kepada Allah, agar Allah melapangkan dada saya, dan Allah berikan pemahaman kepada murid-murid saya.” Maa Syaa Allah...
Begitulah guru, sebagaimana beban dan tanggung jawabnya yang sangat berat, maka selayaknya guru harus terus menerus mendekat kepada Allah, dan selalu melibatkan Allah dalam menagajar dan mendidik murid. Semoga dengan dekatnya guru kepada Allah, akan mempengaruhi baiknya akhlak dan adab murid. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin...
Wallahu Ta’aalaa A’lam...
Oleh: Hendra Nugroho, S.Pd.I
(Guru al-Qur'an SD IT Hidayatullah Yogyakarta)