Dompet dan Sepatu Rusak

Sebuah Cerita Pendek (cerpen) karya Rizqia Rahmadiani, Murid kelas 4C SD IT Hidayatullah Yogyakarta. Karya ini meraih juara 1 dalam lomba menulis yang diadakan di sekolah tahun 2025.

Khania dan Kina, dua orang kakak beradik yang sudah tidak memiliki orang tua, setiap hari hidup di jalanan dan berjualan kue untuk mencari nafkah.

Pada suatu hari, saat mereka sedang berjualan kue di sebuah halte bus, seorang wanita yang sedang menunggu bus datang mampir untuk membeli kue mereka. Setelah memilih kue yang akan dibeli, beberapa menit kemudian, bus yang ditunggu wanita tersebut pun datang, dan ia segera menaikinya.



Kina melihat dompet berwarna cokelat muda terjatuh di tempat duduk halte yang tadi ditempati wanita tersebut, tepat di bawah tempat duduk. Jaraknya hanya satu meter dari tempat mereka berjualan kue. Kina pun mengambil dompet tersebut dan memberikannya kepada kakaknya, Khania.

“Kak, ada dompet jatuh nih. Mungkin punya ibu yang tadi beli kue kita,” ucap Kina kepada Khania.

“Coba sini, Kakak lihat,” jawab Khania.

Khania pun membuka dompet tersebut, membolak-baliknya, mencari informasi tentang pemilik dompet itu.

“Wah, benar, Kina. Ini foto di KTP-nya, sama persis dengan ibu tadi. Namanya Bu Desi. Uangnya banyak banget, seratus ribuan semua dan banyak sekali.”

Khania langsung menyimpan dompet tersebut dalam tas yang dipakainya untuk menaruh uang hasil jualan.

“Nanti sampai rumah, Kakak hitung dulu uangnya. Tidak enak kalau dihitung di sini, banyak orang,” Khania menjelaskan kepada adiknya, Kina.

***

Siang hari, mereka pun pulang ke rumah karena kue yang dijual sudah habis. Sesampainya di rumah, dengan bergegas, keduanya mengeluarkan dompet dari tas Khania dan segera mengeluarkan uang di dalam dompet untuk dihitung.

“Wah, ada 100 lembar seratus ribuan, Kina. Berarti uang Bu Desi di dompet ada sepuluh juta. Banyak banget,” kata Khania kepada adiknya.

“Kak, hmm, bagaimana kalau kita kembalikan dompetnya ke Bu Desi, tapiii ... kayaknya kalau kita ambil tiga atau empat lembar, Bu Desi tidak akan tahu ya? Kan semuanya ada 100 lembar,” usul Kina.

Khania terdiam dan merenung dalam hati, memikirkan apa yang sebaiknya mereka lakukan terhadap uang itu.

Ambil tidak ya? Soalnya aku dan Kina belum makan seharian ini, lapar, dan kaki kami kesakitan sejak lama karena sepatu kami sudah rusak, bolong di bawah, depan, dan belakangnya,” Khania bergumam sendiri dalam hati.


 Khania masih berunding sendiri dalam hatinya, sambil menatap adiknya dengan kasihan. “Mungkin tidak ada salahnya untuk mengambil uang tersebut tiga lembar saja. Kan ada 100 lembar, jadi seperti tidak ada beda tebal tumpukan uangnya.”

Tapi kemudian Khania teringat nasihat almarhumah ibunya semasa hidup dulu. Ia berpesan, “Jangan sekalipun kalian mencuri, walaupun kita sedang dalam keadaan susah. Jangan pernah mengambil hak orang lain. Orang lain mungkin tidak tahu apa yang kita lakukan, tapi Allah pasti tahu. Allah Maha Tahu. Dan mencuri adalah perbuatan tidak terpuji.”

Lalu, Khania pun tersadar dari lamunannya, kemudian berkata kepada Kina, “Jangan kita ambil uang Bu Desi, Kina. Dulu Ibu menasihati kita untuk tidak boleh mencuri, walaupun kita sedang susah. Kita kembalikan uang Bu Desi semuanya, ya.”

“Coba sini, KTP-nya Bu Desi. Kita lihat alamat rumahnya,” ujar Khania, meminta Kina mengambilkan KTP Bu Desi dari dompet.




“Wah, dekat ternyata. Cuma di perumahan seberang halte tempat kita jualan. Yuk, sekarang saja kita ke rumah Bu Desi, mumpung belum magrib dan tidak hujan,” ajak Khania kepada Kina.

“Ya sudah deh, terserah Kakak saja,” jawab Kina. “Yuk, Kak ....”

“Jalan Edelweis Blok A Nomor 3. Itu, Kak Khania, rumah Bu Desi,” ujar Kina sambil menarik tangan Khania karena sudah melihat nomor rumah yang dituju.

“Asalamualaikum ...,” sapa Khania dan Kina bersamaan.

Wa ‘alaikumus-salam, siapa ya ...?” jawab penghuni rumah. “Loh, bukannya kalian yang berjualan kue di halte itu, ya? Mari masuk,” Bu Desi mengenali kakak beradik itu.

Setelah duduk, Khania langsung saja menjelaskan perihal dompet yang mereka temukan tadi pagi di halte.

“Wah, terima kasih banyak ya, Nak. Seharian ini Ibu sudah khawatir dan bingung, jatuh di mana dompetnya. Untung ada kalian, ya,” jawab Bu Desi. Bu Desi segera melihat isi dompetnya.

“Sama-sama, Bu. Kami senang bisa membantu. Sudah ya, Bu, kami pamit dulu. Sudah mau magrib,” jawab Khania.

“Baiklah, Nak. Sekali lagi Ibu ucapkan terima kasih atas kebaikan kalian,” jawab Bu Desi.

Khania dan Kina langsung keluar dari rumah Bu Desi untuk pulang ke rumah mereka. Sambil kedua kakak beradik itu keluar, Bu Desi memandangi mereka dari atas sampai bawah dan tersenyum terharu.

“Yah, kita tidak dikasih apa-apa, Kak. Padahal tadi aku berharap dikasih sesuatu,” keluh Kina kepada kakaknya.

“Hush, Allah sudah kasih kita pahala, loh, Dik. Apa masih kurang? Apalagi tadi kue kita habis terjual. Ada uang lebih sedikit nih dari keuntungan jualan. Beli ayam krispi, yuk,” Khania membujuk Kina untuk tetap bersyukur.

***

Keesokan paginya, seperti biasa, Khania dan Kina datang ke rumah tetangga yang membuat kue untuk mereka jual di halte setiap hari. Sesampainya di halte, Khania melihat sosok yang sudah dia kenal sebelumnya. Ternyata Bu Desi sudah ada di halte tersebut.

“Hai, Nak, Ibu sudah menunggu dari tadi, loh. Ini Ibu bawakan sesuatu. Kemarin Ibu lihat sepatu kalian sudah rusak. Ini Ibu belikan yang baru, semoga pas ya ukurannya,” sapa Bu Desi.

Kina dengan malu-malu menerima pemberian Bu Desi dan mencoba sepatu yang diberikan, begitu juga dengan Khania.

“Dan ini, sedikit makanan dan uang lima ratus ribu untuk kalian sebagai tanda terima kasih Ibu dan hormat Ibu atas kejujuran kalian. Karena Ibu tahu persis jumlah uang yang ada di dompet, tepat 10 juta, tidak ada yang berkurang. Terima kasih ya atas kejujuran kalian,” sambung Bu Desi lagi.

“Wah, banyak sekali pemberiannya, Bu. Terima kasih, Bu. Kami selalu diajarkan kedua orang tua kami, almarhum, untuk selalu jujur dan tidak boleh mencuri, tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak kami,” jawab Khania.

“Alhamdulillah, subhanallah, kalian masih kecil dan sudah tidak punya orang tua, tapi salihah dan jujur sekali. Semoga Allah jaga kalian selalu, ya.”

Setelah Bu Desi pergi, Kina pun mencolek kakaknya sambil tersenyum sekaligus menangis. “Allah Maha Baik, ya, Kak Khania.”




 

Cahaya di Balik Kejujuran

www.sdithidayatullah.net | Sebuah Cerita Pendek (cerpen) karya Bisma Lingga Mahardika, Murid kelas 6D SD IT Hidayatullah Yogyakarta. Karya ini meraih juara 3 dalam lomba menulis yang diadakan di sekolah tahun 2025.

Alkisah, di Desa Candimulyo tinggallah seorang remaja bernama Dimas Adiputra. Dimas mempunyai seorang adik bernama Dinda Salsabila Amani. Mereka berdua sudah tidak mempunyai ayah. Almarhum Bapak Widyanto telah meninggal dunia setahun yang lalu. Ibu mereka bernama Siti Aminah, yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh mencuci dan menyetrika baju.


Dimas dan Dinda bersekolah di SD Negeri 1 Candimulyo. Sekarang, Dimas sudah kelas 6, sedangkan adiknya kelas 4. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Bu Siti selalu mengingatkan anak-anaknya agar menjadi anak yang amanah, jujur, dan suka menolong.

Pada suatu sore, Dimas pulang dari mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. Dia berjalan terburu-buru karena hari sudah petang menjelang azan magrib. Tiba-tiba, dia tersandung sebuah benda. Setelah dilihatnya, ternyata benda tersebut adalah dompet berwarna cokelat tua. Suara azan mulai terdengar, dompet tersebut langsung dimasukkan Dimas ke dalam tas ranselnya. Sesampainya di rumah, dia menaruh tas ransel di dalam kamarnya dan segera pergi ke masjid yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.

Setelah pulang dari masjid, Dimas menuju kamar ibunya yang sedang terbaring lemah di tempat tidur.

“Asalamualaikum, Ibu. Dimas sudah salat Magrib. Sana, Dinda, kamu salat dulu! Aku gantikan menjaga ibu,” kata Dimas.

Dinda bergegas untuk menjalankan salat Magrib. Dimas duduk di samping ibunya sambil memijat kaki ibunya.

“Bu, tadi sepulang mengerjakan tugas, aku menemukan sebuah dompet,” kata Dimas.

Ibu menjawab, “Astagfirullah, kamu harus segera mengembalikannya!”

Dimas membuka dompet tersebut untuk mencari KTP pemiliknya. Saat membuka, terdapat uang ratusan ribu sejumlah 20 lembar.

“Masyaallah, Bu, uangnya banyak sekali,” ujar Dimas.

Ibu berkata, “Coba cari alamatnya di KTP, Dim!”

Tiba-tiba, Dinda masuk dan berkata, “Wah, uang Kakak banyak sekali, bagi dong!”

“Dinda, itu bukan uang Kakak. Kakak menemukan dompet di jalan. Kita harus mengembalikannya kepada pemiliknya,” jawab Dimas.

Akhirnya, Dimas menemukan KTP pemilik dompet tersebut yang bernama Muhammad Farhan, beralamat di Desa Candisari RT 3 RW 15.

Ibu berkata, “Lekas dikembalikan, Dim. Alamatnya tidak jauh dari rumah kita. Kamu naik sepeda saja.”

Dimas lalu berpamitan kepada ibunya untuk mengembalikan dompet tersebut. Hari sudah larut, Dimas dengan cepat mengayuh sepedanya menuju rumah Muhammad Farhan.

Sangat mudah menemukan rumah pemilik dompet karena orang tersebut seorang dokter.

“Asalamualaikum, Mbak. Apakah saya bisa bertemu dengan Pak Dokter?” tanya Dimas pada asisten dokter.

“Bisa, Dik. Tunggu sebentar ya, masih ada pasien di dalam.”

Tak lama kemudian, Pak Dokter telah selesai memeriksa pasien.

Pak Dokter bertanya, “Ada perlu apa, Dik?”

“Bolehkah saya berbicara dengan Pak Dokter di dalam?” jawab Dimas.

Pak Dokter mempersilakan Dimas untuk masuk ke ruang praktiknya.

Dimas menjelaskan apa yang terjadi.

“Apakah benar dompet ini milik Bapak?”

“Alhamdulillah, benar. Ini dompet milik saya, Dik. Terima kasih ya, kamu sudah mengembalikannya,” kata dokter. “Ada banyak barang penting di dompet ini. Kamu anak yang jujur,” kata dokter sambil menjabat tangan Dimas.

“Baik, Pak Dokter. Saya pulang dulu karena hari sudah malam,” kata Dimas.

“Tunggu sebentar, Dik. Ini ada sedikit uang untuk kamu,” kata Pak Dokter.

Dimas pun menjawab, “Terima kasih, Pak Dokter. Mohon maaf, saya tidak bisa menerimanya. Ini sudah kewajiban saya untuk mengembalikan barang yang bukan milik saya kepada pemiliknya.”

Dimas berjalan menuju sepedanya, tetapi ternyata rantai sepedanya putus. Melihat hal tersebut, Pak Dokter bergegas mengambil motornya untuk mengantar Dimas pulang ke rumahnya.

“Dik, ayo naik ke motorku! Saya sudah tidak ada pasien. Saya akan mengantarmu pulang.”


***

“Terima kasih, Pak Dokter, sudah mengantar saya pulang,” kata Dimas sesampainya di rumah.

Pak Dokter menjawab, “Sama-sama, Dik. Oh iya, namamu siapa? Jangan panggil saya Pak Dokter terus. Panggil saja Mas Farhan!”

“Nama saya Dimas, Mas Farhan,” jawab Dimas.

Dokter Farhan segera pamit pulang karena hari sudah semakin malam. Dia berjanji kepada Dimas untuk mengembalikan sepedanya keesokan harinya.

Sepulang sekolah, Dimas terkejut melihat ada sepeda baru berwarna merah di depan rumah. Sepeda tersebut seperti sepeda impiannya selama ini.

Dimas bertanya pada ibu, “Ibu, itu sepeda siapa yang ada di depan rumah?”

Ibu bercerita kepada Dimas bahwa tadi siang, ketika Dimas masih di sekolah, ada seorang bernama Farhan yang mengantarkan sepeda untuk Dimas sebagai tanda terima kasih karena Dimas sudah menjadi anak yang jujur.

Dimas sangat bersyukur kepada Allah Swt. Karena kejujurannya, dia bisa mendapatkan sepeda baru yang selama ini menjadi impiannya.

Inilah yang dinamakan cahaya di balik kejujuran.

 

Berani Jujur itu Keren

 www.sdithidayatullah.net | Sebuah Cerita Pendek (cerpen) karya Ahsan Arma De Putra, Murid kelas 4D SD IT Hidayatullah Yogyakarta. Karya ini meraih juara 2 dalam lomba menulis yang diadakan di sekolah tahun 2025.

Suatu hari, pada hari libur sekolah, seperti biasanya, Nino dan teman-temannya bermain di lapangan desa dekat rumah. Mereka bermain bola sejak setelah subuh. Karena merasa sudah lelah, Nino pun memutuskan untuk pulang ke rumah dan beristirahat.

Sesampainya di rumah, Nino berbaring di ruang keluarga sembari menyalakan kipas angin. Tidak lupa, ia juga menyalakan murotal yang ada di ruangan tersebut. Lantunan murotal membuatnya menikmati setiap ayat yang dibacakan hingga tanpa sadar ia tertidur.

Sesaat kemudian, Nino terbangun ketika dari kejauhan terdengar suara ibu memanggilnya. Ibu meminta tolong kepada Nino untuk membelikan telur di warung Pak Agus yang letaknya tidak jauh dari rumah.


“Mas, Ibu minta tolong belikan telur dan kopi untuk bapak di warung Pak Agus, ya!” pinta Ibu.

Mendengar permintaan Ibu, Nino langsung bangkit dan berdiri seraya berkata, “Iya, Bu. Siap laksanakan,” sambil menyunggingkan senyum manis di pipinya.

Ibu membawakan Nino uang lima puluh ribu rupiah beserta kantong belanjaan.

Di jalan menuju warung Pak Agus, Nino bertemu dengan teman-temannya yang tampaknya masih betah mengobrol di bawah pohon dekat lapangan. Dari kejauhan, Vano berteriak menyapanya, “Nino, kamu mau ke mana?”

Tidak mau kalah dengan teriakan Vano, Nino pun berteriak menjawab, “Mau ke warung Pak Agus!”




Tingkah mereka yang saling berteriak itu membuat teman-temannya tertawa terkekeh.

Tak lama kemudian, sampailah Nino di warung Pak Agus. Ia segera meletakkan sepedanya dan masuk ke warung.

“Asalamualaikum, Pakde,” sapa Nino.

Dari dalam toko terdengar suara Pak Agus menjawab, “Wa ‘alaikumus-salam, No.”

Mendengar sapaan itu, Nino tersenyum. Ia kemudian menyampaikan keperluannya, yaitu membeli 1 kg telur dan satu bungkus kopi hitam, seraya menyerahkan kantong belanjaan yang dibawanya.

Setelah Pak Agus mengambil barang yang dibutuhkan, beliau menghitung total belanjaan Nino. Ternyata, totalnya adalah tiga puluh tujuh ribu rupiah. Nino pun menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah kepada Pak Agus.

Setelah menerima uang kembalian, Nino bergegas pulang tanpa menghitungnya terlebih dahulu. Ia tidak menyadari bahwa uang kembalian yang diberikan Pak Agus ternyata berlebih.

Di jalan, Nino bertemu dengan teman-temannya yang masih berkumpul di pinggir lapangan. Di sana, mereka sedang minum Pop Ice dan makan cilok Mang Ogah yang berjualan di sekitar lapangan.



Vano menawarkan cilok kepada Nino. Nino pun mengambil satu cilok dan memakannya sambil duduk. Tiba-tiba, ia teringat bahwa ia memiliki uang kembalian dan ingin membeli cilok dengan uang tersebut. Ia berpikir untuk memberi tahu ibu bahwa ia mengambil dua ribu rupiah dari uang kembalian untuk membeli cilok.

Namun, saat mengambil uang dari saku celananya, Nino terhenyak dan kaget. Ternyata, uang kembalian yang diberikan Pak Agus kelebihan lima ribu rupiah.

Melihat wajah Nino yang terkejut, Vano pun bertanya, “Ada apa, Nino?”

“Saya kaget. Ternyata uang kembalian yang diberikan Pak Agus kelebihan,” jawab Nino.

Salah satu temannya berkomentar, “Sudahlah, No, enggak apa-apa. Itu rezeki anak saleh. Tidak usah dikembalikan, lebih baik buat jajan cilok saja sama Pop Ice. Segar banget!”

Vano pun ikut menimpali, “Betul, Nino. Mending traktir kita beli cilok, gimana?”

Nino tersenyum mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menggeleng dan menirukan gerakan Upin & Ipin, Nino berkata, “Is ... is ... tak patut.

Sontak, teman-temannya tertawa mendengar jawaban Nino.

Tanpa bermaksud menggurui, Nino mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia teringat perkataan ustaz ketika jam halaqah di sekolahnya, uang yang didapat dari cara yang haram tidak akan mendatangkan keberkahan.

Nino menjelaskan seraya bertanya, “Mau berkah, enggak?”

Sontak, teman-temannya bersamaan menjawab, “Mau ...!”

Salah satu temannya pun berkata, “Masyaallah, keren kamu, Nino!”

Nino yang mendengar hal tersebut hanya tersenyum. Ia kemudian pamit kepada teman-temannya untuk mengembalikan kelebihan uang yang dibawanya.

Pak Agus mengucapkan terima kasih kepada Nino dan memuji sikapnya tersebut.

Setelah mengembalikan uang kembalian, Nino bergegas pulang ke rumah. Di jalan, teman-temannya sudah tidak terlihat di lapangan. Dia pun mengayuh sepedanya lebih kencang lagi, khawatir ibu menunggunya.

Sesampainya di rumah, Nino menceritakan kejadian yang dialaminya tadi. Sembari mengusap kepala anaknya, ibu berkata, “Masyaallah, keren sekali anak ibu.”

 


Sekolahku Jalan tuk Raih Impianku





www.sdithidayatullah.net | Sebuah Cerita Pendek (cerpen) karya Lathifa Alifya Zahra, Murid kelas 4C SD IT Hidayatullah Yogyakarta Tahun Pelajaran 2023/2024. Karya ini meraih juara 3 dalam lomba menulis yang diadakan di sekolah.

 ***



Tepatnya 4 tahun yang lalu Aku mulai belajar di sekolah ini. Sekolah SD IT Hiadayatullah. Pada saat itu corona merajalela di Indonesia. Walaupun kondisi yang kurang mendukung aku dan teman-teman ku tetap semangat dalam mencari ilmu. Kami belajar secara online bahkan perkenalan kami pun dilakukan via zoom. Walaupun lewat layar HP atau Laptop kami merasa sangat bahagia bisa mengenal teman-teman yang baru, dan tentu dari sekolah yang berbeda-beda pula.

Dalam belajar kami selalu dibimbing oleh ustadz dan ustadzah yang selalu sabar. Tugas dikirim setiap malam hari dan kami pun mengerjakannya dibantu oleh orang tua. Orang tua telah membimbing kita dengan sabar. Sekali waktu kami belajar di rumah ustadzah. Dan itulah kami pertama kali bertemu tatap muka dengan teman dan ustadzah.

Aku merasa senang sekali bisa secara langsung bertemu dengan teman-teman dan ustadzah. Selain belajar kita juga bisa bercerita dan bermain bersama. Temanku bercerita tentang pentingnya belajar. Belajar adalah kewajiban bagi setiap muslim. Oleh karena itu, maka dalam keadaan apapun kita harus semangat untuk menuntut ilmu.

Banyak teman-teman kita di luaran sana yang tidak diberikan kesempatan untuk menuntut ilmu. Hal itu dikarenakan ada dari mereka yang harus membantu orang tuanya bekerja walaupun belum waktu mereka untuk mencari uang. Jadi, kita harus banyak bersyukur dan tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Allah berikan pada kita untuk menuntut ilmu di sekolah ini.

Aku senang sekali bisa sekolah di sini. Banyak ilmu yang bisa Aku dapatkan. Tidak terasa sekarang aku sudah duduk di kelas 4. Pembelajaran di sekolah sekarang sudah seperti biasa. Aku selalu berangkat pagi untuk ke sekolah, walaupun jarak yang aku tempuh dari rumah ke sekolah lumayan jauh.

Aku ingat pesan ibuku. Beliau berpesan agar aku selalu semangat berangkat ke sekolah walaupun jarak yang kita tempuh lumayan jauh. Beliau berkata, “Semoga dengan jauhnya jarak yang kita tempuh ada banyak pahala yang akan kita dapat dari Allah”.  Ada hadits yang menyebutkan bahwa “Barang siapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka dengan ini Allah akan musdahkan baginya jalan masuk surga” (HR. Muslim).

Maka ketika rasa malasku muncul, aku teringat pesan ibuku sehingga rasa malas itu aku buang jauh-jauh supaya surga itu dapat dengan mudah aku raih. Ustadzah pun selalu memotivasi ku dan teman-teman supaya selalu semangat dan rajin dalam belajar. Tidak hanya sebatas itu, ustadzah berpesan agar kami selalu kompak (tidak memilih teman) dan selalu menjaga sholat 5 waktu.

Karena aku dan teman-teman selau ingat pesan ustadzah suasana kelas kami pun terasa nyaman dan tenang. Kegiatan belajar di kelas, biasanya kami mulai dengan do’a dan muraja’ah. Ketika belajar, kami pun mendengarkan penjelasan dari ustadzah dengan sungguh-sungguh. Hal itu kami lakukan supaya apa yang kami dapatkan memperoleh hasil yang maksimal.

Hal itu juga kami lakukan agar cita-cita kami tercapai. Kami mempunyai mimpi yang berbeda-beda. Setiap anak mempunyai hak untuk bermimpi setinggi mungkin. Untuk mencapai mimpi itu salah satunya adalah dengan belajar yang rajin, usaha yang maksimal, serta jangan lupa disertai doa. Segala sesuatu yang dilakukan tanpa do’a apalah artinya. Dan jangan lupa, keikhlasan juga diperlukan. Karena kalau kita melakukannya dengan asal-asalan maka hasilnya pun kurang maksimal.


Aku mempunyai mimpi menjadi guru yang hafidz Qur’an. Usaha yang aku lakukan adalah berusaha secara maksimal dalam belajar, menghafal Al-Qur’an, serta memohon ridha dari ustadz ustadzah dan ayah ibuku. Karena dengan ridha dari guru dan orang tua kita juga akan mendapatkan ridha dari Allah Sang Maha Penyayang.

Aku belajar di sekolah dan tidak lupa kuulangi di rumah. Biasanya, Aku belajar dirumah pada malam hari dengan didampingi ayah ibuku. Mereka mengajariku dengan penuh kasih sayang. Sedangkan untuk muraja’ah biasanya kulakukan pagi hari setelah shalat subuh.

Ketika akan ada ulangan yang kulakukan adalah belajar pada malam hari dan pagi hari setelah muraja’ah atau menunggu waktu berangkat ke sekolah. Kadang saat berangkat ke sekolah di atas motor aku gunakan sambil membaca buku. Walaupun ketika di atas motor rasanya agak takut-takut ketika ibuku mengendarainya agak cepat. Itu semua kulakukan dengan senang hati tanpa paksaan dari siapapun.

Yang kulakukan itu adalah salah satu cara atau usahaku dalam menggapai mimpiku menjadi guru. Mengapa Aku ingin menjadi guru? Menurutku menjadi guru itu adalah suatu yang sangat menyenangkan. Guru adalah pahlawan yang tidak dapat diukur dengan apapun. Guru adalah orang tua kedua bagi murid-muridnya. Gurulah yang mencerdaskan anak bangsa. Tanpa guru kita tidak bisa apa-apa. Ingatkah kalian teman-teman? Siapa yang mengajari kita dari tidak tahu menjadi tahu? Ya, itu semua salah satunya adalah ilmu yang diberikan oleh guru-guru kita.

Mereka bekerja tidak hanya pagi hari di sekolah. Bahkan ketika di rumah pun banyak dari mereka yang masih melayani kepentingan murid-muridnya. Contohnya saja kita, kalau belum paham dengan tugas yang diberikan pasti kita akan WA guru kita. Benar tidak? Dan Mereka akan membalasnya dengan segera agar kita dapat mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik.



Ketika hari libur guru kita menyapa dengan lembut dan santunnya. Mereka menganggap kita seperti anak mereka sendiri. Ketika kita di kelas mereka pasti akan memberikan nasehat-nasehat seperti orang tua yang menasehati anaknya.

Ma syaa Allah banyak sekali kebaikan-kebaikan yang akan kita dapatkan ketika kita menjadi guru. Hayoo siapa lagi teman-teman yang mempunyai mimpi menjadi guru. Ladang pahala bisa banyak kita dapatkan lho dari kita menjadi guru. Akan tetapi cita-cita teman-teman apapun itu baik asal kalian semua mengerjakan tugas itu dengan sebaik-baiknya dan dilandasi rasa ikhlas.

Semoga Allah memudahkan kita semua menggapai mimpi yang kita impikan. Ayo mulai dari sekarang kita tambah semangat dalam belajar di SD IT Hidayatullah. Di sinilah salah satu tempat terbaik kita dalam menggapai mimpi-mimpi kita di masa yang akan datang.

Buat bangga guru-guru kita dan orang tua kita dengan prestasi-prestasi dan kita buktikan bahwa kita sebagai murid SD IT Hidayatullah tidak kalah dengan murid di SD yang lain. Terima kasih ustadz-ustadzahku…Aku sayang kalian…