Protes Orangtua Murid itu Makanan Bergizi bagi Sekolah


Penulis: Mahmud Thorif adalah koordinator Humas dan Kabag TU di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, sekolah Islam di Sleman yang mendidik generasi bertauhid, unggul, dan berkarakter.

Lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta di tengah situasi pandemi covid-19 ini mau tidak mau harus memeras otak dan pikiran agar bisa menjaga kualitas para muridnya dalam menyerap materi pembelajaran, disamping itu lembaga swasta ini juga harus mencari jurus-jurus jitu agar guru dan pegawainya bisa terus menerima gaji bulanan, agar guru-gurunya bisa konsentrasi mengajar ketika kebutuhan pokok untuk keluarganya bisa terpenuhi. Untuk urusan gaji bulanan ini tentu semakin berat, ketika orang tua/wali murid yang biasa rutin membayar biaya pendidikan bulanan prosentasenya tidak mencapai 100%, mungkin hanya 60%, atau malah 50%, atau bahkan di bawah 50%. Tentu menjadi hal yang berat bagi sekolah swasta, karena urusan gaji ini sumber biayanya dari iuran bulanan para orang tua/wali murid. 

Di tengah situasi begini tentu berbagai tuntutan dari orangtua murid juga banyak ke sekolah, wajar saja sih, karena orangtua murid juga merasa pusing dan pening memikirkan anak-anaknya lebih banyak di rumah, lebih banyak memegang gadget, lebih senang bermain daripada belajar. Karena orangtua murid ada tambahan pekerjaan yaitu menggantikan peran guru di sekolah yang pindah ke rumah. Jika sehari, dua hari, tiga hari, empat hari mungkin tidak menjadi masalah, ini sudah berlaku 1,5 tahun bro, sis, waktu yang tidak sebentar. Ada orantua yang setuju dan menginginkan anaknya masuk belajar di sekolah ada juga orangtua yang masih khawatir jika sekolah melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka. Sekolah harus memperhatikan 2 gelombang yang seperti ini dari orangtua. Jika sekolah mengabaikan salah satu, maka hidup dan kehidupan sekolah bakal terancam (widih, ngeri bener kaaan)

Lantas tuntutan orangtua murid, protes orangtua, kritik orangtua murid kepada lembaga pendidikan, kepada kepala sekolah, kepada para guru dan pegawainya harus menjadi bahan evaluasi sekolah untuk memperbaiki diri. Jangan mudah terbawa suasana alias baper sehingga menambah loyo kepala sekolah dalam memimpin lembaga pendidikannya, menambah loyo para guru dan pegawai dalam mengajar dan bekerja. Jadikan itu semua sebagai makanan bergizi yang bisa meningkatkan imun di tengah pandemi (walau penulis yakin, ini susah dilaksanakan).

Tentu berbeda jika tuntutan, protes, dan kritik orangtua murid dijadikan ‘makanan yang bergizi’ bagi sekolah, maka sekolah akan berbenah, sekolah akan mengevaluasi, sekolah akan menjadikan tuntutan, protes, dan kritik orangtua murid menjadi ‘cambuk’ bagi sekolahnya untuk meningkatkan mutu. Tidak mudah memang menerima sebuah tuntutan, banyak protes dan kritik dari orang lain yang kadang bikin kuping dan pikiran panas.

Jika tuntutan, protes, dan kritik orangtua murid dijadikan ‘makanan bergizi’ bagi sekolah, maka sekolah harus berusaha memperbaiki manajemen yang ada sekarang, para guru harus banyak belajar tentang mengelola kelas virtual, mengelola emosi, menangani murid yang bermasalah atau bahkan murid yang sangat cerdas. 

Jika tuntutan, protes, dan kritik orangtua murid dianggap ‘makanan bergizi’ tapi sikap sekolah, sikap gurunya tidak mengubah kebiasaan mereka, maka jangan berharap banyak, sekolah atau gurunya bisa menjadi lebih baik dalam mendidik anak-anak didik mereka. Bisa jadi para gurunya akan lebih fokus  memberi alasan akan tuntutan orangtua, para gurunya sibuk mengcounter protes dari para wali murid, para gurunya selalu membela diri dari kritik orangtua murid. Yang perlu dicari adalah mencari solusi dari tuntutan, protes, dan kritik orangtua murid.

Guru di sekolah dan orangtua di rumah adalah partner dalam mendidik anak-anak. Jika keduanya saling mendukung, saling memotivasi, saling memahami, saling tolong menolong tentu pekerjaan dalam mendidik anak-anak akan semakin mudah. 

Wallahu a’lam bishawab

Powered by Blogger.
close