Kepengasuhan : Membongkar Mitos tentang Ayah


Oleh : Subhan Afifi

”Dunia tidak akan pernah mengerti,” begitu catatan yang ditinggalkan seorang ayah di California ketika menembak dirinya sendiri. Si ayah belum sempat menghadapi tuntutan pengadilan ketika mengakhiri hidupnya secara tragis. Semua orang memang tak akan pernah mengerti, bagaimana ia membenci anak perempuannya, Genie (nama samaran), teramat sangat.

Gadis kecil 13 tahun itu, harus melupakan indahnya masa kecil, hidup dalam “penjara” yang diciptakan ayahnya sendiri. Sehari-hari Genie diikat dalam sebuah tempat duduk yang ketat, tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia dikurung dalam kurungan besi tanpa diberi makan. Jika menangis, si ayah akan memukulnya dengan kejam. Genie juga tidak boleh diajak berkomunikasi. Mendengar orang bercakap-cakap saja tidak boleh. Genie terbebas, ketika ibunya membawanya lari dari rumah, dan si ayah ditangkap polisi, sampai akhirnya bunuh diri. Kisah tentang Genie dan ayahnya ditulis kembali secara menarik sebagai pembuka dalam buku Psikologi Komunikasi.  
           
Ayah Genie tentu contoh yang ekstrim tentang akibat buruk dari mitos-mitos yang melingkupi diri seorang ayah. Mitos bahwa ayah punya kekuatan dan kekuasaan yang tak boleh diganggu-gugat. Kekuasaan yang boleh dipamerkan, bahkan dengan kekerasan.  Contoh-contoh lain dengan skala yang lebih ringan bersliweran di tengah kita. Ayah yang merasa benar sendiri, menang sendiri, dan sibuk sendiri, sehingga hanya meluangkan sedikit waktu untuk anak-anak adalah citra yang terbangun oleh mitos-mitos itu.

Jika dibuat daftar, maka mitos tentang ayah akan semakin panjang. Ayah digambarkan sebagai sosok yang kaku, hanya berkutat pada soal disiplin dan keteraturan, serta sulit dekat dengan anaknya. Kedekatan dengan anak seolah-olah menjadi monopoli ibu. Ayah tak ingin disibukkan dengan urusan anak-anak, bahkan untuk sekedar menggendong, mencium dan membelai si kecil. Ayah juga dianggap tak mampu merawat anak-anak. Coba saja, ayah dibiarkan pergi atau di tinggal berhari-hari bersama anak, tanpa sang bunda. Pasti akan kerepotan. Itu kata mitos.  

Bahkan pekerjaan yang “pantas’ atau “tidak pantas” dilakukan seorang ayah, juga dipengaruhi mitos-mitos. Dalam sebuah pengajian, seorang Ustadz menjelaskan hadist tentang terlaknatnya seorang laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan yang menyerupai laki-laki, baik dalam berperilaku maupun berpakaian. Setelah diberi kesempatan, seorang peserta ta’lim bertanya serius. Katanya, “Apakah pengertian hadist itu termasuk pada seorang suami yang juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan istri, seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci, atau bahkan pergi ke pasar?”. Tentu saja santri yang lain tertawa. Sang Ustadz, menjawab dengan balik bertanya bijak, “Sejak kapan pekerjaan-pekerjaan seperti itu diberi jenis kelamin “perempuan” ?.  Bisa jadi, pertanyaan itu juga dipengaruhi oleh mitos, bahwa ayah tidak boleh direpotkan dengan urusan pekerjaan yang dianggap bukan “bidang”nya.

 Sebenarnya Rasululloh Sallallahu ‘Alaihi Wassalam, teladan sejati, telah membongkar mitos-mitos tentang ayah itu, ribuan tahun yang lalu. Tentu kisah bagaimana Rasululloh menunjukkan kelemahlembutan, kasih sayang pada anak-anak dan juga cucu-cucu beliau sering kita dengar. Bagaimana beliau bermain kuda-kudaan dengan Hasan dan Husein, dan selalu menciumi mereka penuh kasih, membuat para sahabat terheran-heran. Salah seorang dari mereka, Aqra’ bin Habis at-Tamimi bahkan berkomentar “Aku punya sepuluh anak, tetapi tidak satupun dari mereka yang pernah kucium.”  Maka lahirlah sabda Rasul yang terkenal itu : “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi ” Man la yarham, la yurham…!

Saya jadi teringat pernah melakukan perjalanan dengan beberapa sahabat untuk berbagi cerita dalam sebuah workshop penulisan di luar kota. Salah seorang diantara mereka membawa serta 1 orang “prajurit” dan 1 “srikandi” kecil yang sedang lincah-lincahnya. Ketika itu, bunda mereka di rumah, dan baru saja mendapat anugerah adik bayi. (Kini, mereka sudah dapat 1 tambahan lagi permata hati…Semoga Allah Ta’ala selalu memberkahi keluarga bahagia ini…). Ah..betapa indahnya melihat kejadian-kejadian menggelikan sekaligus mengharukan antara ayah dan 2 anak balita itu. Bagaimana sang ayah yang sedang bertugas, harus menjadi penengah jika kakak dan adik itu bertengkar, mengejar-ngejar si kakak sambil menyuapi si kecil, hingga mereka bertiga tidur kelelahan, berpelukan di lantai beralas karpet biru itu. Begitu damai.. Tak pernah saya dengar sang ayah, membentak, menumpahkan amarah Bahkan terlihat kesal pun tidak. Hari itu mitos tentang ayah sedang dibongkar oleh sahabat saya itu. Ayah tak harus sok kuasa, sedikit-sedikit marah, atau gemar bermain kekerasan atas nama “kewibawaan” dan “ketegasan”. Ayah juga bisa lembut, penuh kasih sayang, dan sangat bisa dekat serta piawai merawat anak.  Jika saja para ayah seperti itu semua, tentu para bunda akan tersenyum lebih cerah. Cahaya bulan pun akan terlihat lebih terang. Saya sangat ingin menjadi salah satu ayah macam itu. Tentu saja, bukan seperti ayah-nya Genie. Naudzubillah….!


Dr. Subhan Afifi, M.Si. | Ayah 4 anak | Pemimpin Redaksi Majalah Fahma | Dosen Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta | “tinggal” di www.subhanafifi.com | twitter @subhanafifi
Powered by Blogger.
close