Belajar Jurnalistik di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu (PM3)



www.sdithidayatullah.net || Tim Humas SDIT Hidayatullah Yogyakarta berkesempatan mengikuti Dauroh Jurnalistik bertema "Journalism is Dead. What's Next?" pada Sabtu-Ahad, 19-20 Oktober 2019. Acara ini berlokasi di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu beralamat di Jl. Magelang-Boyolali Candaran, Wonolelo, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas jurnalis muslim dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar. 
Baca : Informasi Murid Baru Tahun 2020/2021
Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 90 menit dari sekolah. Sesampai di lokasi kita disambut oleh bangunan pesantren yang berdiri kokoh sejak tahun 2010 pasca erupsi Merapi. Agenda ini diikuti pula oleh wartawan dan jurnalis dari berbagai kalangan, diantaranya : Majalah Nur Hidayah, MIUMI Yogyakarta, Majelis Qonitaat, IMUNE (Institut Muslimah Negarawan), Hidayatullah, Teras Dakwah, dll. 

Sesi pertama dipandu oleh Ustadz Dzikrullah (Tim Media Sahabat Al Aqsha) bersama sang istri, Ibu Santi Sukanto (ex-Pemred Brunei Times). Kali ini tema yang diusung adalah "Mengelola Fakta dan Peristiwa Jadi Berita". Peserta dibagi menjadi kelompok kecil beranggotakan 6-8 orang untuk membentuk satu tim redaksi. Dalam menyajikan sebuah berita dibutuhkan adanya News Value (Nilai Berita) yang meliputi : Actuallity (Kehangatan), Magnitude (Besaran), Proximity (Kedekatan), Public Interest (Kepentingan Hidup Masyarakat), Human Interest (Hal yang menyentuh rasa kemanusiaan), Oddity (Keanehan). 

Sesi selanjutnya dimulai pukul 16.00 WIB, "Riset dan Wawancara". Ustadz Dzikrullah atau yang lebih akrab disapa Babeh menjelaskan tentang teknik-teknik wawancara, menyusun daftar pertanyaan, dll. Saat matahari tenggelam cuaca mulai terasa dingin. 

Malam harinya berlanjut sesi ketiga dengan materi "Editing". Bu Santi menjelaskan langkah-langkah mengedit tulisan. Pertama, meletakkan peristiwa atau fakta terpenting di kalimat pertama. Kedua, Kalimat pertama tidak lebih panjang dari sepuluh kata dengan urutan Subyek, Predikat, Obyek, dan Keterangan yang mudah dicerna. Ketiga, menghindari serapan atau kata dari bahasa asing. Keempat, Menghapus paragraf yang apabila dihapus tidak melemahkan paragraf. Dan menghapus kata yang apabila dihapus tidak mengubah makna kalimat. Kelima, mempelajari dan disiplin dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, menggunakan gaya bahasa masa kini seperlunya. 

Keesokan harinya, agenda diawali dengan jalan-jalan inspirasi menikmati suasana pegunungan. Sayur mayur tertanam rapi sepanjang jalan. Kami berhenti disebuah tempat yang cukup lapang, beralaskan tikar peserta mendengarkan tausiyah yang disampaikan oleh Ustadz Fatan Fantastik. Mereka diminta berpasangan dua orang, melakukan permainan "Cermin dan Peraga". Cara bermainnya adalah peserta pertama bebas melakukan gerakan apa saja, sedangkan peserta kedua bertugas menirukannya. "Seorang jurnalis itu apakah menjadi cermin atau peraga?" tanya Ustadz Fatan. 

Sebagian menjawab cermin, yang lain menyahut peraga. Kelompok cermin berpandangan, sebagai seorang jurnalis kita harus seperti cermin, memantulkan bayangan apa sesuai fakta. Sedangkan kelompok peraga berasumsi, bahwa jurnalis itu bertugas mengolah data yang ada agar layak untuk dibaca. Dari dua pendapat tersebut dapat ditarik garis tengah, menjadi seorang jurnalis itu harus jujur dan obyektif menyampaikan suatu berita. Namun juga berkewajiban untuk mengolah data agar layak disantap oleh pembaca dan tidak menimbulkan miss persepsi. 

Kegiatan selanjutnya dimulai pukul 8.30 WIB, yaitu sesi "Praktikum dan Reportase". Peserta bebas mencari narasumber di desa. Ada yang mewawancarai Pendeta, Warga Masyarakat, Pak Lurah, hingga Abah Fani sang pemimpin Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu (PM3). Tema wawancara pun beragam, ada yang mengambil tema crosshijabers, kristenisasi, politik, hingga kreasi majalah dinding. 

Matahari kian meninggi, tiba saatnya memasuki sesi terakhir "Praktik Manajemen Media". Peserta diminta mempresentasikan hasil kerja tim. Kelucuan dan keseruan mewarnai tingkah mereka. Tak lupa Babeh dan Bu Santi mengoreksi dan memberi masukan atas hasil liputan. Kemudian berbagi tips mengenai design visual. 

Jurnalisme atau kegiatan pengumpulan dan penyebaran informasi sudah dimulai sejak abad ke16 hingga sekarang. Mungkin berlanjut, mungkin juga mati. Sedangkan Islam sudah ada sejak manusia belum lahir di dunia. 

Dalam jurnalisme ada yang bersinggungan dengan peradaban Islam, yaitu dari aspek keilmuan. Sebagai seorang jurnalis muslim kita mempunyai tugas untuk melaporkan berita sesuai fakta apa adanya di lapangan. Sebab, setiap kata akan dipertanggungjawaban. Jurnalisme boleh mati, tapi islam tidak akan mati. 

Laporan : Rofi Wahyulina, Guru Al-Quran SDIT Hidayatullah
Foto      : Atin 
Powered by Blogger.
close