![]() |
Gedung Fullday School SDIT Hidayatullah Yogyakarta |
Oleh
: Subliyanto*
“Tidak ada kata terlambat dalam menyampaikan aspirasi”. Inilah yang melatarbelakangi penulisan artikel ini. Karena
dalam kacamata media, isu ini mungkin sudah masuk dalam katagori basi. Namun demikian masih layak untuk
menjadi pembahasan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Beberapa hari yang lalu, dengan alasan agar anak tidak
sendiri ketika orang tua mereka masih bekerja, dan sederetan alas an lainnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mewacanakan sistem
"full day school" untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri
maupun swasta. (Kompas.com Senin, 8 Agustus
2016)
Gagasan tersebut sontak menjadi pembahasan netizen. Tentunya gagasan
tersebut tidak datang begitu saja tanpa adanya contoh kongkrit lembaga pendidikan
yang sudah melaksanakannya khususnya sekolah swasta.
Pada hakikatnya "full day school" sudah lama diterapkan di Indonesia, namun memang tidak
menjadi sebuah kebijakan yang termaktub dalam sebuah peraturan di kementrian
pendidikan. Ironisnya sepertinya
bangsa ini terjebak dengan sebuah istilah yang dianggap “keren” menurut mereka.
Istilah "full day school" bisa dikatakan baru datang sehingga kedengarannya “wah”.
Padahal faktanya sistem di dalamnya sudah ada jauh sebelum istilah yang dianggap “keren” tersebut bomming
di Indonesia. Hanya saja penerapannya memang masih beragam. Ada yang masih
tradisional dan ada juga yang sudah modern.
"full day school" dengan konsep tradisional sudah lahir lebih dulu dan diterapkan
khususnya di perkampungan yang notabeni pendidikannya di pondok pesantren. Sistem
yang mereka terapkan adalah “double school” dengan tempat dan waktu
yang berbeda namun berkelanjutan.
“double school” yang dimaksud adalah sekolah
umum dan sekolah diniyah. Sehingga anak-anak diarahkan kepada dua pendidikan. Pagi
mereka bersekolah di sekolah umum fokus pada pelajaran umum dengan waktu kurang
lebih dari jam 07:00 s/d 12:00, dan ketika sore mereka bersekolah diniyah yang
pada umumnya berada dilingkungan pesantren dengan waktu kurang lebih dari jam
14:00 s/d 17:00 fokus pada pelajaran diniyah.
Sistem tersebut tidak hanya pada jenjang sekolah dasar,akan
tetapi berlanjut hingga jenjang sekolah menengah, yang sebagai puncaknya mereka
belajar di pondok pesantren. "full day school" dengan konsep tradisional ini pada umumnya sudah
diterapkan di kalangan Nahdhatul Ulama (NU).
Sementara "full day school" dengan konsep modern juga sudah banyak diterapkan di
lembaga pendidikan swasta, khusunya diperkotaan yang notabeni masyarakatnya
bekerja di perkantoran.
Sebut saja sebagai salah satunya adalah Muhammadiyah dengan konsep "full day school" yang dimilikinya dan Hidayatullah yang hadir dengan konsep kurikulum integralnya, serta
beberapa lembaga lain yang mempunyai visi “hampir” sama dengan dua lembaga di
atas.
Namun, memang perlu diakui bahwa tak semua masyarakat perkotaan
khusunya masyarakat menengah ke bawah bisa menikmati sekolah "full day school" yang menggunakan konsep modern, karena terkait dengan biaya yang cukup tinggi.
"full day school" dengan konsep modern merupakan konsep perpaduan antara
pendidikan tradisional dengan pendidikan modern yang dikemas menjadi sebuah sistem
yang terpadu dalam satu kurikulum dan satu atap lembaga pendidikan dengan waktu
kegiatan pembelajaran kurang lebih dari jam 07:00 s/d 17:00.
Tentunya antara "full day school" dengan konsep tradisional dan "full day school" dengan konsep modern mempunyai plus dan minus. Sehingga
tinggal masyarakat menilai dan memilihnya sesuai dengan seleranya
masing-masing.
Lantas seperti apakah sistem "full day school" yang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy ? Untuk itu perlu kiranya untuk dikaji ulang
secara mendalam sebelum menjadi sebuah kebijakan. Jangan sampai gagasan
tersebut menjadi penghalang terwujudnya tujuan utama pendidikan.
*Penulis adalah pemerhati pendidikan, alumni "full day school" dengan konsep tradisional, dan praktisi "full day school" dengan konsep modern, tinggal di Sleman Yogyakarta, twitter @Subliyanto
Sumber: www.subliyanto.id