Sang Juara
Oleh
: Tuswan Reksameja*
Masih hangat dalam ingatan
orangtua, beberapa hari yang lalu usai penerimaan buku laporan pendidikan
anak-anaknya tentu mengetahui prestasi anaknya. Bermacam ekpresi orang tua
dalam menanggapi hasil jerih payah anaknya. Ada yang tersenyum bangga dengan
prestasi anaknya, ada yang sedikit kecewa karena menginginkan hasil yang lebih
baik, dan tentu ada juga orang tua yang sangat kecewa dengan hasil yang telah
diraih oleh anak-anaknya.
Dan...
Orang tua mana yang tidak bangga
ketika buah hatinya menjadi anak nomor satu di kelasnya? Ketika buah hatinya
meraih rangking pertama di sekolahnya? Pasti sang buah hatinya akan menjadi
buah bibir di sekolahnya, oleh guru-gurunyam oleh temen-teman di sekolahnya, dan
menjadi bahan pembicaraan di obrolan para orang tua yang lain. Ini sebuah
kebanggaan tersendiri. Orangtua juga akan dengan bangga menceritakan kepada
tetangganya, teman kantornya, kerabatnya kalau anaknya berprestasi. Ada senyum
kebahagiaan tergurat di wajah mereka.
Lalu....
Orang tua mana yang tidak kecewa
anaknya berprestasi buruk, anaknya juga akan menjadi bahan cerita di
sekolahnya, namun bukan sebagai anak yang juara, namun sebagai anak yang gagal.
Sudah pasti orang tuanya akan malu. Orang tua akan malu jika harus diceritakan
kepada kerabatnya, tetangganya, apalagi teman sekantor mereka. Sangat malu.
Lantas ....
Apakah orang tua berhenti di
situ, mereka bangga dengan prestasi anak-anaknya? Mereka juga kecewa dengan
jatuhnya prestasi anak mereka? Tentu tidak. Perjalanan anak-anak masih
sangatlah panjang, berkelok, terjal. Kadang jalan mereka turun, terkadang pula
harus naik. Jalan mereka kadang juga harus menyeberangi sungai-sungai deras,
danau-danau luas. Mereka masih harus menaiki gunung, menyeberangi samudra nan
luas. Jika harus berhenti di sana, maka mereka tidaklah akan sampai tujuan.
Kemudian...
Untuk apa anak juara tersebut?
Apakah cukup menjadi kebanggaan ayah ibunya? Tentu banyak hal yang bisa didapat
dari si anak juara. Anak-anak itu akan tegak kepalanya saat mereka berjalan,
tidak menundukkan kepala pertanda tidak bangga dengan diri sendiri. Anak juara
ini menjadi modal awal prestasi-prestasi yang akan ditorehnya.
Terus...
Apa sih yang menjadikan mereka
menjadi si juara? Apakah mereka selalu bertengger nomor satu setiap akhir
semester? Apakah mereka yang mendapat piala dan piagam saat akhirussanah? Akhir
tahun? Tentu juga tidak. Anak-anak juara yaitu mereka yang berprestasi dengan
kejujuran mereka, apapun hasilnya. Anak-anak yang mereka mengedepankan akhlak
mulia saat mereka bergaul dengan yang lain. Lebih jauh lagi, anak-anak yang
sudah mampu membedakan hal-hal baik yang harus diikuti dan tahu pula hal-hal
buruk yang harus dihindari. Mereka yang sudah menegakkan shalat lima waktu
dengan baik. Itulah sesungguhnya para juara.
Bukan...
Bukan mereka yang nilai raportnya
rata-rata delapan, namun hasil contekan. Bukan mereka yang menempati rangking
pertama namun hasil mengancam dari teman pintarnya. Bukan mereka yang selalu menjadi juara kelas namun shalat
mereka bolong-bolong, bukan mereka yang nilainya sempurna namun mereka
menyombongkan diri. Bukan mereka yang selalu menjadi buah bibir di sekolahnya
namun akhlak mereka jelek. Bukan. Bukan itu anak juara.
Maka...
Semua anak bisa menjadi juara.
Apapun prestasi mereka. Asal cara meraihnya dengan kejujuran.[]*yayan
*)Penulis
adalah Redaktur Majalah Fahma
**)SDIT
Hidayatullah menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Informasi
lengkap 087 738 219 070
Post a Comment