Oleh Tuswan Reksameja
Ah, betapa sedihnya muridku tahun ajaran ini. Terpaksa aku, sebagai guru kelasnya, mengambil keputusan yang sangat berat, tidak menaikkan ke kelas di atasnya. Bisa kubayangkan, betapa sedihnya nanti dia, pasti raut mukanya yang selalu ceria berubah menjadi muram tidak bersemangat. Aku bisa merasakan gejolak hatinya, aku bisa merasakan perasaan jiwanya. Pasti akan terpukul, sedih, malu, atau bahkan menangis.
Malu, begitulah pasti yang ada dalam benaknya. Malu kepada teman-teman sekelasnya yang naik ke kelas di atasnya dan tentu akan lebih malu kepada adik kelasnya yang sekarang menyusul dia. Ah, betapa canggungnya dia saat harus berbicara dengan teman sekelas yang sudah meninggalkannya dan betapa canggung pula tatkala harus bicara dengan adik kelas yang sekarang menjadi teman sekelasnya.
Aku juga bisa membayangkan di tempat tinggalnya, tentu akan menjadi bahan olok-olok teman-teman bermainnya. Ah, kalau mengingat itu semua, rasanya aku tidak tega meninggalkan dia di kelas lamanya. Belum nanti orangtuanya yang tentu marah besar karena anaknya tidak naik kelas. Mungkin hadiah yang sedianya dijanjikan oleh orangtuanya akan sirna gara-gara tidak naik kelas.
Begitu mungkin jalan pikiran seorang guru kelas disaat harus memutuskan anak didiknya tidak naik kelas. Ragu, bimbang, berat, tidak tega, dan entah apa saja yang ada di benaknya. Wajar saja, sangat manusiawi.
Perlu dipahami, terkadang keputusan tidak menaikkan atau menaikkan anak didik yang kompetensi akademiknya rendah adalah keputusan yang berat bagi sekolah. Berat karena hal ini tentu akan menyakitkan hati anak didiknya dan tentu juga orangtuanya. Berat kalau anak didik dinaikkan, akan semakin memberatkan anak tersebut di kelas barunya dengan beban-beban pelajarannya, padahal sebelumnya masih di bawah rata-rata. Bagaikan buah simalakama.
Nah, biasanya naik kelas itu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anak didik. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar anak didik tersebut tidak naik kelas. Nah, syarat dan ketentuan naik kelas inilah yang menjadi pedoman seorang pendidik menaikkan atau tidak menaikkan anak didiknya. Jadi sekolah tidak serta merta menentukan syarat dengan main-main. Harus mempertimbangkan kemampuan anak didiknya. Misalnya penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam setiap kelas berbeda, karena mempertibangkan kemampuan setiap anak didiknya.
Tidak Sekadar Nilai Angka
Inilah yang sering dilupakan oleh sekolah-sekolah, sekolah Islam sekalipun. Iya, naik tidak naik kelas seorang anak didik hanya dilihat dari nilai-nilai angka semata, tanpa memperdulikan kepribadian mereka, akhlak mereka. Jika ini dibiarkan, sebenarnya tidak adil. Harus segera diperbaiki. Maka sekolah juga wajib mencantumkan KKM tentang akhlak seorang anak. Akan sangat memalukan jika lulusan sekolah Islam namun akhlak mereka jongkok, moral mereka berantakan.
Syarat Naik Kelas vs Naik Kelas Bersyarat
Tidak menutup kemungkinan anak-anak yang telah diputuskan dalam sebuah musyawarah rapat sekolah tidak naik kelas tiba-tiba orangtuanya mendatangi gurunya, kepala sekolah ‘merengek’ untuk dinaikkan. Nah biasanya jika secara personal dan institusi lemah, maka akan dengan mudah mengabulkan permintaan orangtua ini. lalu hilanglah ‘syarat naik kelas’ berganti menjadi ‘naik kelas bersyarat’. Ada banyak sekolah yang mengeluarkan kebijakkan, jika mau naik kelas maka harus pindah sekolah, dan masih banyak lagi naik kelas bersyarat ini.
Oleh sebab itu, tetapkan kreteria syarat-syarat naik kelas. Lalu istikomahlah menjalaninya. Wallahu a’lam bishawab
Tuswan Reksameja, https://twitter.com/tuswanreksameja
foto ibuhamil.com
1 komentar:
Just share, dahulu ketika duduk di sd ada salah satu teman sekolah ku yg bisa di bilang dia tertinggal dari teman sekelasnya. dari kelas 3 sd sampai kelas 6 dia sering tidak mengerjakan PR, tidak dapat mengerjakan tugas yg di berikan di kelas pada kegiatan KBM, suka buang air besar di kelas ( sampai kelas 6 loh ) dan hall laiinya yg jika dinilai harusnya membuat anak tersebut tinggal kelas.
tapi memang dasar pihak sekolah ku itu ku akui pendidik jempolan, sekolah tetap memberikan kesempatan.
lulus sd dan lama berpisah kemudian kami bertemu lagi 12 tahun kemudian. ternyata dia sekarang bekerja disebuah perusahaan dengan jabatan lumayan loh.
ketika bercerita, ternyata perubahan banyak di dapatinya ketika dia pesantren di sebuah pesantren ternama di indonesia untuk tingkat smp dan sma.
mungkin satu yg dapat aku ambil dari pengalaman ini. bahwa kemampuan menilai manusia bukan lah segalanya. karena banyak hal yg tidak dapat dinilai oleh guru sekalipun terhadap manusia lainnya termasuk anak didiknya.
hal ini mungkin didasari oleh kurangnya keterampilan dan ilmu yg dimiliki guru sebagai pendidik, dan sistem disekolah.