Guru


Penulis : Salim Afillah

Seperti apakah kedudukan seorang guru di hatimu?

“Dia yang mengajariku seayat ilmu”, begitu dikatakan oleh Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, “Sungguh memiliki hak untuk memperbudakku.”

“Seseorang bertanya pada Iskandar Al Maqduni, murid Aristun”, demikian dikisahkan oleh Imam Ibn Rusyd, “Mengapa kau doakan gurumu dua kali sedangkan ayahmu hanya sekali?” Dia menjawab, “Karena Ayahku menjadi wasilah bagi kehidupanku di dunia. Sementara Guruku menjadi perantara bagi hidupku di akhirat nanti. Seandainya Ayahku sekaligus menjadi Guruku, pastilah akan kudoakan dia tiga kali.”
KLIK DI SINI >> INFORMASI MURID BARU 2020/2021 

Betapa mulia dia yang memegang saham keberhasilan kita, tanpa pernah mengambil bagi hasil di dunia. Dia yang meniupkan nafas cintanya, hingga kuncup-kuncup jiwa kita mekar menjadi bunga.

Siapakah sejatinya Guru?
Guru adalah insan yang tak henti belajar, bahkan pada yang jauh lebih muda dan tentang apa yang telah diketahuinya. “Kusimak tiap riwayat ilmu dengan sepenuh hormat”, ujar Imam Atha’ ibn Abi Rabah, “Meski sebenarnya aku telah menghafalnya, jauh sebelum penyampainya lahir ke dunia. Penghormatannya pada ilmu, menepikan segala rasa bangga.

Guru adalah yang paling bersemangat mendapatkan pemahaman seperti dikatakan Imam Asy Syafi’i, “Aku terhadap ilmu seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayangnya yang tersayang dan hilang. Dan ketika menyimak ilmu, sungguh aku berharap bahwa seluruh tubuhku adalah telinga.”

Demikianlah sebab guru yang mandeg belajar adalah murid yang paling gagal. Berhenti memburu ilmu adalah cela bagi yang tua dan celaka bagi yang muda.

Tapi ilmu bagi Guru seakan penghias bagi sesuatu yang lebih tinggi nilainya: Adab. “Jadikan ilmu sebagai garamnya, dan Adab itulah tepungnya”, kata Imam Asy Syafi’i menggambarkan “roti” penopang kehidupan. “Hampir-hampir Adab itu senilai dua pertiga agama”, kata Imam Ibn Al Mubarak.

“Pada seorang Guru yang sebenarnya berilmu”, ujar Ibn ‘Athaillah As Sakandary,

“‘Akan kau reguk Adab yang tak disediakan oleh buku-buku.”

“Aku lebih menyukai santri yang ahli khidmah”, demikian disimpulkan oleh salah seorang junjungan ummat, Sayyid Muhammad ‘Alawy Al Maliki Al Hasani, Ayahanda dari Abuya Sayyid Ahmad yang berkenan menyuapi kami di gambar ini, “Daripada yang sekedar pandai. Karena dengan khidmahnya dia belajar Adab. Adab itulah yang akan menjadikan ilmu memiliki makna.”

Walau telanjur kita dianggap berilmu, jangan malu untuk berkata “Aku tak tahu”, dengannya Allah-lah yang kan jadi Seagung Guru, membimbing kita selalu.

Salim Afillah, Penulis Buku
Foto Anik Maendra
Previous Post
Next Post