Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Pagi sudah mendekati siang, tetapi Wien atau Vienna (kita mengenalnya dengan Wina) masih diselimuti hembusan angin yang dingin. Suhu yang mencapai 10 derajat celcius, tidak mengurungkan niat orang untuk menelusuri jalanan Wina. Para kusir andong, laki-laki maupun perempuan tetap bersemangat menunggu penumpang di sekitar St. Stephen’s Cathedral. Gereja Katedral tertua di Wina yang lebih dikenal dengan sebutan Stephen’s Dom itu sekarang lebih banyak menjadi obyek wisata.
Tepat di samping Stephen’s Dom terdapat sebuah lorong kecil (gasse menurut istilah di Wina), Domgasse namanya, yang membawa kita ke sebuah bangunan bernama Mozart Haus. Ini memang tempat tinggal Wolfgang Amadeus Mozart setelah pindah dari kota kelahirannya di Salzburg, sebuah kota pegunungan yang indah di Austria. Mozart yang memiliki nama baptis Johannes Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart banyak dikaitkan oleh para trainer maupun pembicara seminar tentang parenting dengan kecerdasan luar biasa pada diri anak.
Beredar banyak rumor bahwa memperdengarkan musik Mozart pada bayi sejak dalam kandungan maupun baru lahir, menjadikan anak jenius. Begitu banyak yang percaya sehingga sempat terjadi ledakan gairah di negeri kita untuk memperdengarkan musik Mozart kepada anak kecil, khususnya bayi. Mereka berharap anak-anaknya berkembang menjadi jenius besar. Bahkan tak sedikit yang yakin bahwa memperdengarkan musik Mozart menjadikan anak memiliki kecerdasan matematika yang luar biasa, sesuatu yang sebenarnya cukup ganjil. Bagaimana mungkin memperdengarkan musik dari orang yang bukan jago matematika dapat menyebabkan anak hebat matematikanya? Tetapi apa pun itu, banyak anggapan yang berkembang, lengkap dengan berbagai buku yang kerapkali juga tidak jelas basis risetnya.
Karena itu, ketika menginjakkan kaki di Wina, yang pertama kali saya tanyakan adalah apakah praktek semacam itu –yakni memperdengarkan musik Mozart kepada bayi—dikenal sebagai metode melejitkan kemampuan anak dan banyak dilakukan oleh orang-orang Austria? Mestinya jika itu benar, tentulah orang sebangsanya, paling tidak para tetangga Mozart Haus, banyak melakukannya. Tetapi sebagaimana saya pelajari dalam berbagai literatur, mereka tidak menjadikan musik Mozart sebagai metode melejitkan potensi anak, tidak pulah memilihnya sebagai teknik untuk menimbulkan ketenangan pada diri anak. Mereka menghargai Mozart sebagai composer, tetapi bukan menjadikan sebagai metode mendidik anak sebagaimana diyakini oleh sejumlah orangtua di negeri kita. Seorang perawat asal Indonesia yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Austria menuturkan, bahwa di negeri asal Hitler itu sama sekali tidak ada seruan, kampanye maupun gerakan untuk memperdengarkan musik klasik bagi anak-anak. Seandainya bagus dan didukung bukti riset, tentulah Austria sudah melaksanakan lebih dulu.
Mozart memang seorang komposer cemerlang. Tak sedikit yang takjub dengan aransemen gubahannya. Apalagi Mozart sering berpura-pura mendapatkan ide aransemen musik secara tiba-tiba dan langsung menghasilkan komposisi sempurna hanya dalam waktu beberapa saat saja. Sekali dapat ide, langsung jadi komposisi yang hebat. Di kemudian hari, setelah Mozart meninggal, barulah diketahui dari ruang kerjanya bahwa “komposisi tiba-tiba yang jenius” itu merupakan hasil dari proses panjang yang memerlukan serangkaian revisi, uji coba, latihan dan penyusunan ulang. Mozart berpura-pura menampakkan diri sebagai sosok brilian demi menyenangkan Sang Ayah, Leopold Mozart, seorang pemusik dan guru piano. Sebagaimana ditulis oleh Andrew Robinson dalam buku Sudden Genius?: The Gradual Path to Creative Breakthrough (Oxford University Press, 2013), Mozart memperoleh pendidikan yang sangat keras dan selama dua puluh tahun harus berlatih musik secara ketat, disiplin tinggi dengan durasi panjang, langsung di bawah tempaan ayahnya: Leopold Mozart. Ia mendapat tuntutan kemampuan bermusik sangat tinggi dari orangtuanya.
“Aku hanya memiliki satu permintaan,” tulis Mozart dengan nada sedih pada akhir tahun 1777, saat usianya mendekati 22 tahun, “yaitu, janganlah terlalu berprasangka buruk tentang diriku.” Ini merupakan tulisan Mozart tentang bapaknya. Sebuah tulisan yang menyedihkan.
Geoff Colvin menulis dalam bukunya yang bertajuk Talent is Overrated: What Really Separates World-Class Performers from Everybody Else (Portfolio, 2008) bahwa berdasarkan berbagai data, Mozart mencapai kemampuan luar biasa dalam menghasilkan komposisi musik bukanlah terutama karena soal bakat, tetapi latihan yang keras secara terus menerus dalam waktu sangat panjang. Dalam kasus Mozart bahkan ia digembleng sejak kecil hingga usianya sekitar 20 tahun melalui proses latihan tak kenal lelah dan cenderung menegangkan. Maka, sangat mengherankan jika ingin menjadi jenius dalam bidang musik, menjadi hebat sebagaimana diperagakan oleh Mozart yang kerap mempertontonkan keajaiban berupa ide mendadak yang langsung menjadi gubahan memukau dalam waktu beberapa menit saja, hanya dengan mendengarkan musiknya Mozart. Padahal “keajaiban” yang diperlihatkan Mozart itu bahkan ada yang memerlukan waktu lebih dari 1 tahun proses penggubahannya hingga menjadi komposisi akhir. Keanehan itu lebih sulit lagi kita pahami manakala orang memperdengarkan musik Mozart agar anaknya jenius dalam bidang selain musik.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kehebatannya menghasilkan komposisi musik, kritikus New Yorker, Alex Ross menyimpulkan dari berbagai riset tentang Mozart, “Ambitious parents who are currently playing the “Baby Mozart” video for their toddlers may be disappointed to learn that Mozart became Mozart by working furiously hard. Para orangtua ambisius yang sekarang sedang memperdengarkan video “Baby Mozart” bagi anak-anak kecilnya mungkin akan segera kecewa ketika mempelajari bahwa Mozart menjadi seorang Mozart melalui kerja yang luar biasa keras.”
Kerja keras. Disiplin. Inilah yang mengantarkan Mozart menjadi seorang Mozart. Ini pula keterangan yang saya dapatkan tentang bagaimana anak-anak Austria, negerinya Mozart, dididik. Banyak tempat menarik di Austria, tetapi hanya Mozart Haus (Rumah Mozart) yang saya mengharuskan diri mengunjunginya. Rumah di sebuah gang sempit lingkungan Stephen’s Dom perlu saya datangi langsung untuk memperoleh gambaran secara langsung, selain meminta informasi dan menggali kajian tentang Mozart dari sejumlah orang.
Nah, masihkah kita mengharapkan keajaiban dengan bersibuk memperdengarkan komposisi Mozart seolah mampu melejitkan potensi anak dan menghadirkan ketenangan pada diri anak? Sudah banyak buku yang ditulis berdasarkan untuk menunjukkan bahwa semua cerita tentang keajaiban yang tiba-tiba dari memperdengarkan Mozart adalah mitos semata, sebagaimana anggapan bahwa Mozart menjadi hebat dengan sekali menggubah juga merupakan mitos.
Tidakkah cukup bagi kita untuk menempa anak-anak kita agar bersungguh-sungguh terhadap hal-hal yang bermanfaat baginya? Inilah yang dapat mengantarkan anak pada kebaikan.
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Nah.
Sumber : Facebook Mohammad Fauzil Adhim