PERLUKAH TRYOUT UN DILAKSANAKAN BERULANG-ULANG ?
Oleh : Untung Purnomo, S.Pd*
Sudah jamak diketahui setiap orangtua murid menginginkan anaknya
lulus dengan nilai tinggi. Dengan nilai tinggi diharapkan anak dapat dengan
mudah mencari sekolah idaman.
Keinginan ini setali tiga uang dengan harapan sekolah, jika siswa
mencapai rata-rata nilai tinggi nama sekolah juga akan terangkat. Hal ini
karena ada anggapan sekolah bermutu salah satunya ditunjukkan dengan nilai
rata-rata UN tinggi.
Keinginan orangtua dan sekolah ini juga sejalan dengan keinginan
Dinas Pendidikan di masing-masing otoritas wilayah. Ini terjadi karena selama
ini ada “persaingan” untuk mencapai rata-rata nilai UN tertinggi antar Dnas
Pendidikan.
Untuk
mencapai nilai UN tinggi salah satu upaya yang dilakukan, yaitu dengan
melaksanakan try out UN.
Pelaksanaan try out tidak hanya
berlangsung satu atau dua kali saja, selama beberapa tahun belakangan try out
dilaksanakan berulang-ulang kali. Walaupun organisasi pelaksananya dapat berbeda-beda
pada tiap pelaksanaan.
Dari sisi pelaksanaan tersebut timbul pertanyaan, apakah hal ini sudah tepat atau belum? Terutama
jika dikaitkan dengan tujuan pembelajaran yang sesunggguhnya. Menurut Dr. Agus
Wasisto Dwi Roso Warso, M.Pd, dalam bukunya teknik penilaian disampaikan
bahwa proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap
tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah melalui sejumlah
kompetensi yang harus dimiliki.
Dari kesimpulan tersebut, apakah try out merupakan bagian dari
persiapan bekal bagi anak untuk dapat mengatasi setiap tantangan dan rintangan
dalam kehidupan selanjutnya? Bisa ya bisa tidak. Ya kalau memang pelaksanaan
try out memberikan pngalaman baru yang dibutuhkan oleh siswa untuk menghadapi
tantangan. Tidak kalau dari pelaksanaan try out siswa tidak mendapatkan apapun
selain soal-soal yang sama namun berbeda redaksi maupun tata bahasanya.
Sepanjang pengamatan try out dilaksanakan dengan mengorbankan hal
lain yang lebih urgen. Pertama, pengajaran dan bimbingan aspek afetif siswa. Hal
ini karena try out cenderung menyentuh dan menekankan hanya aspek kognitif.
Maka tidak heran saat siswa dinyatakan lulus cenderung meluapkan perasaannya
dengan sikap yang sering tidak tepat.
Kedua, mengorbankan dana yang tidak sedikit. Dana dialokasikan
untuk logistik panitia, pengadaan soal maupun honor pengawas. Tentunya jika
dana yang ada dialokasikan untuk menyelenggarakan kegiatan yang lebih penting,
misalnya pelatihan ketrampilan, tentunya yang sesuai dengan usianya maka akan
lebih bermanfaat. Belum lagi dana yang dikeluarkan masing-masing anak untuk
mengikuti bimbingan belajar yang menjamur bak di musim hujan.
Ketiga, mengorbankan waktu. Hal ini terjadi karena pelaksanaan try
out berlangsung pada hari efektif di mana
kelas yang lain seharusnya berlangsung pembelajaran. Dengan adanya try out
kelas yang lain harus menerima efeknya, dari yang harus berpindah kelas karena
kelasnya digunakan, ditinggal guru kelasnya menjadi pengawas sampai harus
diliburkan.
Dan yang keempat mengorbankan program-program yang ada di tiap
sekolah. Program-program tersebut baik yang dilakukan guru maupun siswa.
Program tersebut seringkali sudah disusun sedemikian rupa di awal tahun namun
tidak terlaksana karena terkendala waktu yang dipakai untuk pelaksanaan try
out.
*Penulis adalah Guru SDIT Hidayatullah Sleman Yogyakarta
Post a Comment