Kenakalan Anak : Kenali Sebabnya, Jangan Nafikan
Foto Apel Motivasi Murid SDIT Hidayatullah |
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Pada pokoknya, tidak ada anak yang nakal. Kitalah yang salah didik sehingga
mereka menjadi nakal. Tak ada anak yang lahir dalam keadaan nakal. Tetapi kita
tak boleh menutup mata atau menyangkal bahwa kenakalan itu ada. Sesungguhnya,
eufimisme hanya menyulitkan kita menemukan akar masalahnya. Memahami setiap
sebab kenakalan akan memudahkan kita menentukan langkah yang tepat sesuai
dengan sebab kenakalannya. Langkah terstruktur.
Menyangkal adanya kenakalan dapat membuat kita terkejut. Tiba-tiba saja ada
berita kriminalitas anak. Bukan lagi sekedar kenakalan. Ungkapan sebagian
trainer bahwa kenakalan hanyalah soal cara pandang, atau kenakalan adalah
kreativitas terpendam, memang menghibur. Tetapi ungkapan ini sangat
menjerumuskan. Menganggap biasa tiap kenakalan, memandangnya wajar sehingga tak
ada tindakan, akibatnya sangat fatal. Kita menganggap kenakalan itu tidak
pernah ada, tapi tiba-tiba saja dikejutkan oleh berita anak SD membunuh. Apakah
ini bukan kenakalan? Bukan. Ini sudah kriminalitas. Jauh lebih berat daripada
kenakalan.
Ketika ada yang gaduh di kelas, sebagian guru dengan ringan berkata
"mereka anak kinestetik". Tapi tak menjelaskan beda kinestetik dan
liar. Teringat kisah seorang kawan di Melbourne. Suatu saat anaknya
mengantuk di kelas. Catat: mengantuk. Itu pun sebentar.
Tapi guru langsung koordinasi. Mereka ingin mengetahui sebab (ini mempengaruhi
penanganan) mengantuknya anak. Karena kehilangan motivasi, terlambat tidur atau
lainnya.
Point pentingnya adalah, masalah kecil pun perlu segera ditangani agar tak
berkembang lebih parah atau justru jadi masalah kolektif.
Terdapat banyak literatur yang khusus membahas kenakalan anak, mengenali
tanda dan sebabnya serta cara menangani. Ini menunjukkan bahwa kenakalan
itu ada dan perlu langkah-langkah yang tepat untuk menanganinya. Bukan
menafikan.
Jika setiap yang tak sesuai kita anggap biasa, maka ketika anak sudah
berperilaku sangat menyimpang pun, kita sudah tak peka lagi. Kita
menganggap biasa apa yang sebenarnya tak biasa tanpa mencoba memahami sebabnya
dan akhirnya gagap ketika persoalan berkembang serius.
Ini sama dengan belajar anak. Kita perlu bedakan antara kemampuan dan
kemauan. Jika anak goblog karena malas, jangan cari pembenaran. Berbakat
tapi tak bersemangat akan kalah dibanding tak berbakat tapi gigih. Awalnya
sulit, sesudah itu mereka akan menemukan kemudahan.
Sama halnya capek dan lelah. Capek (tired) bersifat fisik, lelah (fatigue) bersifat mental. Capek karena belajar seharian itu wajar. Cukup beri
kesempatan istirahat, dia akan segar kembali. Tapi lelah setelah belajar, full day atau pun half day, itu yang perlu diatasi. Dan itu tidak terkait dengan panjang pendeknya
durasi belajar. Di sekolah yang durasi belajarnya pendek pun bisa saja banyak
yang kelelahan.
Jika anak kelewat bersemangat sehingga kecapekan belajar, paling-paling
cuma badannya yang sakit. Bisa flu, bisa demam. Paling seminggu. Tapi
sangat berbeda dengan kelelahan. Jika dibiarkan, anak dapat kehilangan motivasi
belajar, apatis, gangguan perilaku atau kenakalan. Anak juga dapat menjadi trouble maker alias biang kerok. Ini jika anak tidak
memperoleh stimulasi media. Nah, apalagi kalau media merusak dan
memperparah.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting, Twitter
@kupinang
Post a Comment