Foto by Google |
Sejenak motor berhenti untuk beberapa menit lamanya di perbatasan jalan "Lampu Merah". Terik panas menyeruak membakar kulit. Kepulan panas terik dijalanan menjadikan banyak orang sering menyeka keringat di pelipisnya.
Lampu merah tak sembarang lampu merah. Banyak kehidupan di sana, bukan hanya tentang STOP dan menunggu warna hijau untuk sekedar berebut jalanan kemudian bergantian untuk menyeberanginya.
Lampu merah adalah ironi sebuah perjalanan hidup. Banyak orang bergantung padanya. Tidak hanya orang-orang berdasi yang nangkring di kuda-kuda besi dengan amat angkuh menyeringai dari balik kaca spion.
Di sudut jembatan di bawah persimpangan lampu merah ada anak kecil yang rela tidur di pinggir jalanan didekap ibunda. Bapaknya memakai kostum badut menghibur banyak orang yang mungkin tak sedikit dari mereka yang memperhatikan guyonan lucunya. Sebuah kaleng usang ia tengadahkan dari motor satu kesatu lainnya. Rupiah demi rupiah ia dapatkan meski tak seberapa cukup untuk menghidupi keluarganya. Di sisi lain ada anak kecil menjajakan loper koran dengan amat semangat meski kehidupan sudah amat canggih, dan orang-orang tak banyak lagi membutuhkan lembaran koran tersebut.
Banyak sekali berseliweran orang-orang yang menawarkan minuman dingin, kipas tangan, kerupuk, dan mainan menggemaskan. Banyak lagu menggema dengan petikan gitar yang amat merdu. Tapi tak sedikit banyak mereka dilirik kecuali hanya orang-orang yang sebenarnya tak butuh kecuali iba.
Dan banyak sekali cerita tentang lampu merah dan kehidupannya. Orang-orang pejuang lampu merah ini sangat luar biasa. Paling tidak mereka tak berhenti bergantung meski sering tergantung. Pejuang nafkah bagi keluarga atau bahkan untuk dirinya sendiri. Sebuah ironi tentang kehidupan di jalanan. Amat keras. Jahat dan membahayakan. Berbahagialah kalian yang masih bisa hangat dengan sanak familinya. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki saat ini.
Oleh: Ainul Laili Mufidah, Guru Al- Qur'an di SD IT Hidayatullah