Interaksi antara anak yang belum baligh tidak jarang tanpa konflik. Biasanya jika muncul konflik diantara mereka tersebab masalah yang kita anggap sepele. Namun, apabila tidak kita bantu untuk selesaikan, bisa menjadi masalah yang besar.
Beberapa waktu lalu ketika sedang mengisi sebuah kelas, ada dua anak yang hampir berkelahi, bahkan salah satunya hampir menangis. Lantas, keduanya saya panggil.
G: Shalih, ada apa? Kenapa kalian berkelahi, Nak?
A1: Ustadzah, dia menekan dadaku, sakit (keluh anak pertama)
A2: Dia mengambil peciku ustadzah
Kedua anak mulai mengadukan alasan masing-masing. Keduanya merasa butuh dibela dan dibenarkan atas tindakan yang dilakukan. Maka, sebagai guru pun tidak lantas bisa menghukumi sebelum mendengar jelas akar masalah sebenarnya.
G: Nak, kenapa kamu mengambil peci temanmu?
A1: Dia memaksa meminjam buku ku Ustadzah, aku sedang belajar.
G: Betul begitu, Nak? (Saya arahkan pandangan ke anak kedua)
A2: Iya Ustadzah. Dia pelit, tidak mau meminjami.
G: Karena bukunya diambil, kamu terus bergantian mengambil peci dia, Nak? (tanya saya ke anak pertama)
A1: Iya Ustadzah.
Dari dialog yang saya lakukan bersama keduanya, tampak jelaslah masalah awal yang menyebabkan mereka hampir berkelahi. Lantas, setelah proses klarifikasi atau di dalam Islam disebut tabayyun inilah pemecahan masalah bisa dilaksanakan. Kedua anak kemudian saya nasehati. Dimulai dari anak kedua yang memang meminjan buku dengan memaksa maka, diingatkan kembali terkait izin yang seharusnya diajukan kepada seorang muslim atas barang yang hendak dipinjam sekaligus mengingatkan dia untuk membawa kelengkapan belajarnya secara mandiri. Tersebab, dia meminjam bukan karena tidak punya tetapi barang-barangnya tertinggal di rumah.
Teruntuk anak pertama, jika memang ada haknya yang terambil maka ambil kembali dengan cara yang baik. Jika tidak terselesaikan, maka anak pertama perlu meminta bantuan kepada pihak ketiga yaitu guru untuk membantu menyelesaikan. Nasehat terakhir adalah terkait perilaku yang tidak boleh saling menyakiti dengan sesama yang mengarah pada pembullyan fisik.
Setelah jelas masalah dan nasehat yang penulis berikan, maka keduanyapun rela untuk saling meminta maaf, pembelajaran yang sempat terjeda kembali bisa berjalan dengan baik.
Dari kejadian ini, dapat saya renungkan bahwa banyak masalah dikalangan orang baligh karena minimnya aktivitas tabayyun. Masing-masing saling merasa benar dalam posisinya dan enggan melakukan klarifikasi. Berbeda dengan anak-anak yang masih begitu polos dan sederhana konflik yang dimiliki, terkadang ego mereka masih bisa ditundukkan untuk mencari kebenaran atas masalah yang menimpa mereka. Maka, marilah kita jaga bersama ukhuwah di tengah kita dengan belajar mengedepankan tabayyun sebelum menyimpulkan sebuah kejadian ataupun perilaku saudara kita. Semoga Allah merahmati kita dengan terjaganya ukhuwah Islamiyah di tengah-tengah kita.
Oleh: Kontributor