Dalam Melahirkan Generasi Cinta Ilmu, Mental Guru jadi Penentu

Mohammad Fauzil Adhim usai acara Tabligh Akbar di Masjid Raya Baiturrahim Jayapura
Sabtu, (07/05/2016)

Laporan Imam Nawawi
Sikap mental guru adalah penentu keberhasilan murid dalam menuntut ilmu. Demikian disampaikan penulis buku-buku parenting, Muhammad Fauzil Adhim.
“Ada suatu negeri, dimana anak-anak belajar tanpa kertas, bukan karena canggih, mereka hanya membawa sebilah papan, tanpa ac, lampu, ataupun kipas. Namun saat guru menerangkan semua murid memperhatikan dwngan penuh kesungguhan. Padahal, tidak ada guru mengajar dengan gaya humor. Tidak ada itu,” ucap Mohammad Fauzil Adhim dalam acara Tabligh Akbar di Masjid Raya Baiturrahim Jayapura Sabtu, (07/05/2016) yang dikenal Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (Laznas BMH).
Pemilik akun @kupinang itu menceritakan keadan belajar di suatu negeri yang sempat ia kunjungi enam bulan lalu.
“Selesai penjelasan, barulah murid-murid mencatat dengan baik. Kalau kurang, perbaiki, kurang, perbaiki lagi, sampai betul-betul sama dengan apa yang dibahas pada sesi pembelajaran yang berlalu sebelumnya,” sambungnya.
Pada akhirnya proses pendidikan semacam itu melahirkan generasi yang benar-benar dekat dengan ilmu.
“Pelajaran itu, dibaca, dibaca, dihafal, sudah hafal, dihafal lagi, terus diulang-ulang. Begitu terus. Jika sudah mantab, baru ganti pelajaran, dan dihapuslah tulisan di sebilah papan tadi. Tetapi, mutu pendidikan di negeri itu lebih baik dari negeri yang kita sayangi, kita cintai,” paparnya.
Sampai akhirnya, di negeri itu guru adalah benar-benar sosok yang memang patut menjadi guru.
“Orang seperti saya, tidak boleh menjadi guru. Guru harus teruji dengan kemampuan menghafal hadits mulai matan sampai sanad. Mereka hafal itu pada usia 18 tahun. Karena di negeri itu, malu orang kalau anak hafal al-Quran pada usia 10 tahun,” urainya.
Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita itu pun mengajak audien kembali merenungkan hakikat pendidikan, sehingga tidak terkuras energi pada hal-hal yang sifatnya tidak mendasar.
“Proses belajar mengajar mereka sangat minim fasilitas. Tetapi, kalau ada yang hafal hadits bukan 2 atau 3 hadits tapi Shohih Muslim, Shohih Bukhari, jadi tidak sekadar Arbain Nawawi,” selorohnya.
Namun, situasi berbeda mungkin terjadi di Indonesia, dimana laptop mati guru tak mampu lagi mengajar dengan baik.
Selain itu, di negeri ini sibuk mengurus rasio guru dengan jumlah murid, jumlah ideal murid di dalam kelas. Sampai akhirnya mutu pendidikan bangsa ini disalip negara-negara tetangga. Dan, pendidikan sampai sekarang belum bisa merangkak naik.
“Dulu Vietnam di bawah kita, tapi sekarang kita sudah di bawah mereka. Di China satu kelas minimal ada 50 siswa dengan satu orang guru. Di Indonesia pendidikan sibuk membahas jumlah siswa per kelas,” jelasnya.
“Kuncinya adalah kesungguhan guru, sehingga lahir antusiasme murid sampai mereka all out dalam belajar. Inilah penanaman sikap penting untuk berlelah-lelah, bercapek-capek memburu ilmu,” imbuhnya.
Menurutnya, yang terjadi di Jepang para murid lebih memilih PR yang sulit daripada yang mudah. Ini adalah mental sikap untuk mampu mengahadapi persoalan hidup, karena ada kompetensi.
“Jadi tidak berdoa mudah-mudahan soalnya mudah, dan selalu mencari-cari kemudahan, apalagi dengan sekedar banyak latihan soal,” pungkasnya.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Powered by Blogger.
close