Mengawali Ta’dib

        Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.

Adab pilarnya, aqidah landasannya. Kuatnya fondasi memudahkan kita membangun apa saja, setinggi apa pun di atasnya. Tegaknya pilar mengokohkan bangunan yang kita dirikan, baik melebar maupun meninggi, tanpa menjadikannya retak, rapuh dan goyah. Lemah pilar tapi kuat fondasi, menyebabkan sulitnya kita membangun sesuai harapan. Fondasi tetap ada, tetapi makin tinggi makin berat beban yang harus ditanggung.



Maka pilar dan fondasi harus sama-sama kita perhatikan dengan baik. Kuat pilar lemah fondasi, menjadikan mereka tahu dan bersemangat terhadap kebaikan, tetapi mereka sulit mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya. Kuat pilar lemah fondasi menjadikan perilaku mereka tampak baik, sikap mereka mengagumkan, tetapi ia sesungguhnya lemah. Mudah merobohkan apa yang telah ada. Jika pun kebaikan itu tetap mereka kerjakan, boleh jadi tak bernilai karena berbagai kebaikan itu tanpa niat yang lurus semata-mata untuk Allah Ta’ala dan karena Allah Ta’ala.

Karenanya, ta’dib (proses pembentukan adab) di sekolah menjadi keharusan, sebagaimana tidak adanya tawar menawar dalam masalah penanaman ‘aqidah. Ini berlaku untuk jenjang TK maupun SD, lebih-lebih SLTP-SLTA. Dan yang paling mendesak sekaligus mendasar untuk dibangun adalah tauhid dan niat.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin? Bukankah anak-anak usia TK dan SD kelas bawah merupakan usia bermain? Jawabnya, jika anak telah memiliki antusiasme belajar, punya gairah bersekolah yang sangat tinggi, apakah belajar menjadi beban baginya? Lihatlah, adakah anak-anak mengeluh ketika mereka menirukan orang dewasa berdemonstrasi atau melakukan long march? Tidak. Kenapa? Karena mereka bersemangat. Maka manakah yang kita pilih? Membangun ketertarikan karena cara mengajar yang menarik dan materi yang ringan-ringan sekaligus penuh permainan, ataukah menumbuhkan dalam diri mereka semangat yang menyala sehingga mereka tetap antusias meski pelajarannya menuntut keseriusan tinggi? Tetapi inilah agaknya yang sering kita lalaikan. Kita lebih sibuk memukau mereka dengan fun teaching, tapi lupa membangun jiwa mereka.
Mari kita ingat sejenak nasehat Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Dalam Tuhfat al-Maudud bi Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu, ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga ajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”
Catatan penting, menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh pada anak bukan berarti penyampaian secara kognitif agar mereka memahami dengan baik. Pada usia TK dan SD kelas bawah, belum saatnya memberi pembelajaran ‘aqidah dengan penekanan secara kognitif. Yang mereka perlukan adalah dorongan, motivasi dan sentuhan hati agar mereka mengingini, mencintai dan bersemangat memegangi sekaligus melakukan apa-apa yang diserukan oleh agama. Ini yang paling pokok.
Mari kita ingat ketika Rasulullah saw. menasehati Ibnu ‘Abbas ra. yang ketika itu masih kecil. Apa hal pokok yang beliau tanamkan ke dalam dada Ibnu ‘Abbas ra.? Tauhid. Keyainan yang kuat bahwa tidak ada yang dapat memberikan maslahat dan madharatkecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Ini pula yang seharusnya kita bekalkan kepada anak-anak kita. Di sekolah, guru-guru TK dan SD paling bertanggung-jawab dalam menumbuhkan keyakinan –bukan hanya pemahaman—tentang kekuasaan Allah Ta’ala yang tiada sekutu baginya.
Mari kita renungi pesan Rasulullah saw. kepada Ibnu ‘Abbas ra.:
ياغلام ! إني أعلمك كلمات: احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك، إذا سألت فاسأل الله، وإذا استعنت فاستعن
بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعواعلى أن يضروك بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف
“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah.
Dan ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (HR. At-Tirmidzi).
Apa yang dapat kita petik? Keyakinan kepada Allah Ta’ala, menyandarkan diri hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga tidak merasa lemah di hadapan manusia, serta mengikatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai penentu takdir.
Pada jenjang selanjutnya, pembelajaran secara kognitif untuk memahamkan mereka tentang tauhid dan niat mulai perlu kita berikan. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa ta’limitu bukan hanya memahamkan secara kognitif dan memberi gambaran yang jelas kepada anak. Kita harus ingat bahwa ‘alim adalah seorang yang apabila semakin bertambah ‘ilmunya, semakin bertambah pula rasa takut sekaligus kecintaannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini berarti, ta’lim itu merupakan paket yang memuat pembelajaran secara kognitif,tadabbur untuk menyadari dan menghayati kebesaran serta nikmat Allah, sekaligusnashihah agar mereka merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mencintainya dengan penuh keimanan.
Allah Ta’ala berfirman:
ومن الناس والدواب والأنعام مختلف ألوانه كذلك إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Faathir, 35: 28).
Maka, apakah yang terjadi jika berbagai ilmu pengetahuan diajarkan tanpa membimbing para murid untuk mengenali pencipta-Nya? Bukan perasaan takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang bertambah, melainkan semakin menguatkan keyakinan bahwa penentu segala sesuatu, termasuk atas takdirnya sendiri, adalah kemauan dan kemampuan diri sendiri. Dan inilah yang sedang terjadi.
Ini berarti, harus ada langkah penting dalam mendidik anak-anak kita di sekolah. Sekedar perubahan pada mata pelajaran, tak berpengaruh besar pada diri murid. Tanpa guru-guru yang terasah imannya, pelajaran aqidah hanya akan bersifat kognitif saja. Dan ini tidak dapat menjadi landasan yang kokoh bagi proses ta’dib.
Maka, kita memerlukan guru-guru yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan guru yang meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar dan penentu apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita terima, harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya, menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien ini. Sebab jika kita salah dalam bersikap terhadap dien, maka terbuka jalan lapang untuk menyelisihi agama ini dengan mengambil nash tanpa mengambil maksudnya.
Jika kita sudah menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh, barulah kita berbincang tentang ruang lingkup adab. Kita melakukan ta’dib sembari terus memberi pendidikan (tarbiyah) untuk masalah tauhid dan niat ini.
Lalu apa saja ruang lingkup ada yang harus kita perhatikan? Secara sederhana, kita memberikan ta’dib yang mencakup seluruh adab (manner & etiquettes) yang dituntunkan oleh dien ini. Tetapi pada saat awal, yang pertama kali kita tumbuhkan adalah adab terhadap guru, orangtua, orang yang lebih dewasa serta terhadap teman sebaya. Ini yang terkait dengan obyek adab, yakni kepada siapa kita harus menegakkan adab. Adapun dalam hal apa saja adab yang harus bangun, salah satu hal pokok adalah adalah adab menuntut ilmu.
Semoga dengan ini, bekal sukses sebagai murid dapat mereka miliki, yakni percaya kepada guru, menghormati (memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru.
Wallahu a’lam bish-shawab.
foto iluvislam.com
Powered by Blogger.
close