Menghadapi Kenakalan Anak



Oleh : 'Abdullah*
Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam diutus guna menyempurnakan keutamaan Akhlak. Termasuk dalam urusan penyempurnaan akhlak adalah memberi perlakuan yang baik kepada anak, seperti mendidik, berlaku sabar dalam menghadapi kenakalannya maupun sabar dalam memberi bimbingan sejak masih dalam kandungan sampai mereka dewasa.

Selama ini sebagian orang tua bersikap reaksioner atas semua tindakan anak, mereka memandang anak sebagai orang dewasa dalam bentuk mini dan semua semua yang dilakukan harus sesuai dengan kelakuan orang tua. Maka jika anak nakal yang dilakukan oleh orang tua biasanya adalah mengurung, mengajar, mengisolasi dari pergaulan, mengurangi uang saku dan sebagainya. 

Mengapa orang tua tidak bertanya kepada diri sendiri ada apa dengan anak saya, apa yang kurang dari diri saya. Tidak mengherankan jika sekarang orang tua banyak yang mengeluh karena anaknya terlibat dan akrab dengan narkoba, diskotik, minum-minuman keras serta pergaulan bebas. 

Orang tua selama ini hanya mampu memberikan ruang dan memenuhi kebutuhan fisiknya sedangkan kebutuhan psikisnya terabaikan. Bagaimana tidak terabaikan jika mereka hanya dirawat dan dididik oleh pembantu yang kurang pendidikannya sekalipun ayah ibunya seorang doktor. 

Bukankah sayang jika permata hati kita nantinya hanya generasi yang penuh dengan daging tambun sedangkan hatinya keropos dari nilai-nilai dan ruh agama maupun ilahiyah. Padahal anak sesuai dengan fitrahnya merupakan amanat Allah yang harus dijaga, dipelihara, dan dirawat dengan kesabaran disertai dengan tawakkal untuk tetap berdo’a semoga diberi anak-anak yang shalih, bukan cuma cerdas dan berprestasi di sekolah semata akan tetapi mampu menjadi qurratu a’yun di masa depan.

Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 74:
“Dan orang-orang yang berkata, Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri dan anak-anak yang jadi permata hati dan jadikanlah kami pemimpin yang bertaqwa”.
Tidak mengherankan jika Allah selalu berpesan bahwa anak-anak adalah perhiasan.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam adalah sebaik-baik contoh dalam memperlakukan anak. Bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak cucu-cucunya bermain, mengajarkan cinta kepada anak-anak kepada para sahabatnya.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ia berkata: “Pernah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menciumi Hasan putra Ali dimana pada saat itu ada Aqra’ Ibnu Habis Attamimy duduk. Dia lalu berkata, “Saya mempunyai sepuluh orang anak tidak pernah satupun dari mereka saya cium”. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam melihat kepadanya dan berkata: “Siapa yang tidak merahmati tidak dirahmati (oleh Allah)” (HR. Al-Bukhari dan muslim).

Mencium anak-anak merupakan salah satu wujud kasih sayang orang tua kepada anak sekaligus merupakan contoh riil agar anak tidak mencium kepada orang lain yang bukan mahramnya. Pengalaman orang tua sering mencium anaknya sampai mereka dewasa tidak akan menjadikan anak-anak mencium orang lain apalagi sampai berbuat zina karena mereka sendiri telah merasa kecukupan dengan kasih sayang dari orang tua insya Allah mereka akan menjadikan anak-anak yang diharapkan.

Apa yang sudah dicontohkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menegaskan bahwa wajib bagi orang tua menyelenggarakan pendidikan dalam rumah tangganya. Kewajiban tersebut wajar karena Allah menciptakan orang tua yang bersifat mencintai anak-anaknya.
Jadi yang pertama hukumnya wajib, kedua karena orang tua senang mendidik anak-anaknya. Inilah modal utama bagi pendidikan dalam keluarga itu dilaksanakan dan apa tujuannya, serta kapan mulainya. 

Cinta kepada anak seringkali menyebabkan orang tua membanggakan anaknya. Mereka sering dengan semangat meluap-luap menceritakan anaknya kepada tamunya atau kawan-kawannya. Terutama mengenai kecerdasannya, kelucuannya, kepintarannya, keberaniannya dan kegemasannya. Kadang-kadang cerita ini menjemukan orang yang mendengarkannya. Sebaliknya tak ada orang yang ingin menceritakan kepada tamunya bahwa anaknya bodoh, nakal, penakut dan sebagainya.

Anak sering pula menyebabkan orang tua lupa kepada Allah dan RasulNya. Saking sibuknya mengurus anak-anaknya, mereka bekerja mati-matian mencari uang agar semua permintaan anaknya dapat terpenuhi. 

Kadang-kadang permintaan yang tidak masuk akalpun dipenuhi, demi cintanya kepada anak. Sayang anak tidak jarang menyebabkan orang tua korupsi dan mencuri. Kadang-kadang karena merasa anak-anaknya kuat, cerdas, juara kelas, pemberani, maka orang tua merasa hidupnya akan aman. 

Oleh karena itu mereka mulai meninggalkan Tuhan. Seringkali orang tua membela anaknya yang berbuat salah sampai orang tua lupa bahwa membela yang salah adalah pelanggaran aturan Allah.

Orang tua dapat juga menjadi budak anaknya, dikala ia merasa wajib memenuhi segala keinginan anaknya. Kewibawaan orang tua telah hilang, karena ia kalah dan dibentuk oleh anaknya karena terlambat atau tidak mampu memenuhi permintaan anaknya. Seperti tidak berani membangunkan anaknya untuk shalat Subuh karena takut anaknya kaget atau marah.

Ayat Al-Qur’an berikut dapat menjadi renungan untuk kita seperti yang tertera dalam Surat Saba’ ayat 37: “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan diri kalian kepada Kami sedikit pun, tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih.”

Berdasarkan ayat tadi bagi orang tua mendidik anak adalah kewajaran, karena kodratnya; selain itu karena cinta. Mengingat uraian di atas, maka secara sederhana tujuan pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi anak yang shalih. Anak seperti itulah yang patut dibanggakan. Tujuan lain adalah sebaliknya, yaitu agar anak itu kelak tidak menjadi musuh bagi orang tuanya.

Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya, karena anak adalah dekorasi keluarga dan mendo’akan orang tuanya kelak. Bila tidak mendo’akan orang tua, keshalihannya telah cukup merupakan bukti amal baik bagi orang tuanya.

Pada suatu waktu orang tua amat susah karena anaknya nakal. Orang tua yang menduduki posisi terhormat dimasyarakat akan jatuh wibawanya karena anaknya yang nakal. Seorang pemimpin masyarakat bila anaknya terlibat kenakalan khas remaja masa kini, misalnya terlibat masalah jual beli obat-obatan terlarang akan jatuh martabatnya dimata masyarakat. Bahkan mungkin saja orang tua akan dipecat dari jabatannya hanya karena kenakalan anaknya.

Kapankah sebaiknya kita mulai mendidik anak? Jawabannya tidak lain adalah semenjak masih dalam masa konsepsi. Bahkan dalam Islam dimulai semenjak memilih pasangan hidup, kemudian saat hamil, saat lahir, saat anak-anak sampai dewasa. Mengenalkan mereka dengan asma-asma Allah, tentang tauhid, tentang akhlaq dan sebagainya.

Lalu bagaimana jika cara tersebut sudah dilaksanakan dan anak-anak tetap saja nakal? Sabar, tawakkal dalam menghadapinya adalah obat terbaik sambil tetap berdo’a memohon kepada Allah agar kenakalannya tidak membawa madlarat bagi dirinya sendiri, orang tuanya dan masyarakatnya.[] *yayan

*Penulis adalah pemerhati anak dan staf pendidik SDIT Hidayatullah Yogyakarta
**SDIT Hidayatullah menerima pendaftaran murid baru tahun ajaran 2014-2015. Info pendaftaran 087738219070
Powered by Blogger.
close